Home » UGM Nilai Penolakan Kebijakan Refleksi Ketidakpuasan Publik

UGM Nilai Penolakan Kebijakan Refleksi Ketidakpuasan Publik

by Raja H. Napitupulu
2 minutes read
Hadna

Belakangan ini, banyak kebijakan pemerintah yang mendapat penolakan masyarakat. Penolakan itu dinilai sebagai wujud refleksi ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah.

Hal itu diungkapkan Ketua Program Studi Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM, Prof. Agus Heruanto Hadna, di Yogyakarta, Senin (10/06/2024).

“Penolakan kebijakan adalah refleksi dari ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi yang terjadi. Utamanya pada saat kebijakan tersebut dimunculkan,” ujar dia.

Ia menjelaskan, untuk menghasilkan kebijakan yang efektif harus memperhatikan beberapa hal.

Pertama, harus memperhatikan rumusan masalah kebijakan yang tepat. Dan kedua, kebijakan harus dilakukan pada situasi dan kondisi yang tepat.

“Bahwa rumusan kebijakan yang tepat pun, belum tentu menjadi jaminan bahwa kebijakan tersebut akan bisa diimplementasikan dengan baik,” ungkap dia.

Menurut dia, suatu kebijakan dapat menjadi tidak produktif manakala tidak mempertimbangkan bagaimana situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.

Misalnya aspek politik ekonomi, budaya, tekanan internasional, dan sebagainya. Berbagai aspek ini menjadi hal penting yang harus diperhatikan secara cermat.

Gonta Ganti Kebijakan

Periode dua bulan terakhir, pemerintah mempertontonkan ‘gonta-ganti’ kebijakan kepada masyarakat. Misalnya, perubahan kebijakan pemerintah yang akhirnya menahan rencana kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) pada mahasiswa baru tahun 2024.

Perubahan itu terjadi akibat kerasnya penolakan masyarakat dan mahasiswa yang kemudian direspon oleh parlemen. Bahkan parlemen menilai pemerintah tidak berpihak pada rakyat dengan rencana kenaikan UKT tersebut. Kebijakan itu dicabut Mendikbud Nadiem Makarim pasca bertemu Jokowi.

Baca Juga  Indonesia Butuh Tata Kelola Kebutuhan Dasar, Anies: Beras Mahal dan Petani Tidak Sejahtera

Berikutnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menyatakan ada kemungkinan dana pekerja Indonesia sekitar 2,5% yang ditujukan untuk Tapera, akan dikaji lagi.

Kebijakan akan dikaji pasca meluapnya gelombang aksi unjuk rasa masyarakat. Padahal sebelumnya Jokowi baru meneken kebijakan itu yang akan diberlakukan tahun 2027 bagi seluruh pekerja di Indonesia, termasuk bagi pekerja yang sudah mempunyai rumah.

Kebijakan Pemprov DKI

Terbaru adalah, pernyataan Satpol PP DKI Jakarta yang menyebut akan mengenakan sanksi denda Rp50 juta ke warga jikalau dirumahnya kedapatan sarang jentik nyamuk malaria.

Pemberian sanksi denda itu sesuai Pasal 21 dan 22 Ayat 1 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).

Namun kemudian, Pj Gubernur DKI Heru Budi menyebutkan bahwa sanksi denda Rp50 juta bagi warga yang rumahnya menjadi sarang jentik nyamuk, cuma gertakan pemerintah. Tujuannya, agar warga Jakarta peduli dalam mengatasi penyakit demam berdarah.

Akibat kebijakan-kebijakan pemerintah di atas, masyarakat merespon dengan melakukan aksi unjuk rasa menolak kebijakan tersebut.

“Nah, saya kira kasus-kasus di atas ini adalah cerminan dari kedua aspek tersebut di atas. Yaitu, penyusunan kebijakan pemerintah tidak memperhatikan rumusan masalah kebijakan yang tepat. Dan juga tidak memerhatikan situasi dan kondisi yang tepat,” tutup Prof Hadna yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UGM itu.

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life