Drama Politik Masa Kini
Di musim menjelang Pemilu ini, banyak sekali kejadian dan peristiwa yang terjadi. Drama-drama politik dan popularitas semakin terlihat dan terpampang. Merasa ingin menang dan si paling hebat menunjukkan batang hidungnya ke permukaan.
Tidak hanya itu. Menjelekkan satu sama lain bahkan menjadi hal yang lumrah di era Pilpres ini. Baik dari sindiran media sosial, sindiran melalui puisi, bahkan dari pantun. Sorakan kebencian mencuat dari segala penjuru media. Miris sekali. Padahal, bersaing dengan sehat tanpa menjatuhkan adalah pemenang yang sebenar-benarnya.
Kubu dan kubu menyerang secara halus tanpa pandang bulu. Tidak peduli kebaikan dan perjuangan satu sama lain untuk negara. Tidak adanya kejujuran dan merasa paling hebat sudah menjadi ‘makanan’ para calon wakil rakyat. Sangat disayangkan.
Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi. Seorang penulis bernama Gus Nas pun ikut menyuarakan kegeramannya atas drama Pilpres yang terjadi belakangan ini melalui puisinya.
Profil Penulis Gus Nas
M. Nasruddin Anshoriy atau biasa disebut Gus Nas Jogja adalah seorang budayawan yang juga Pimpinan Pondok Pesantren Ilmu Giri Yogyakarta. Selain kiyai dia juga seorang penulis dan pelukis.
Gus Nas banyak dikenal oleh tokoh-tokoh nasional di negeri ini. Tidak hanya artis, politisi, pengusaha, maupun seniman mengenalinya. Dia banyak mengoleksi lukisan-lukisan langka dari para maestro.
Gus Nas telah menorehkan banyak sekali karya-karya yang menarik dalam bait-bait puisi. Beberapa diantaranya seperti Tong Kosong Reformasi, Semesta Bertakbir, Air Mata Sudan, dan beberapa karya lainnya.
Presiden Ke-4 Republik Indonesia, Gus Dur bahkan memujinya dan berkata bahwa ia adalah seorang multi talenta. Hal ini dikarenakan bakat alami yang dimilikinya.
Berikut adalah bukti kegeraman Gus Nas atas orang-orang yang menjelekkan satu sama lain di masa Pilpres.
Puisi-Puisi Jelek
Puisi-puisi jelek bermunculan di masa Pilpres
Kusebut kau bukan puisi
Atau lebih tepatnya luapan rasa benci
Nenek bilang: Ora Ilok
Kakek bilang: Ora Ngilo Githok
Aku pun setuju, sembari menyebut: Koyo Kodok Neng Ngisor Bathok
Jangan pernah mengotori kata-kata
Sebab Puisi dan Pantun adalah Ibu Kandung segala Etika dan Estetika
Dulu ada yang bilang plonga-plogo
Jauh sebelum itu ada yang berkata sontoloyo
Puisi-puisi jelek semakin melambai-lambai
Memamerkan kekerdilan hati dan nafsu ingin cawe-cawe
Aku miris menyaksikan para politisi meludahi wajahnya sendiri
Kaum intelektual terseret arus di lubang dubur
Akal sehat macet di jalanan becek demokrasi
Aku mengelus dada menyaksikan para ulama sibuk bermain drama
Menari-nari di ujung duri
Mengumpat dan mengumbar aurat saudara sendiri
Popularitas menjadi berhala
Sedangkan kejujuran dibiarkan sebatangkara
Kerja dan karya dilecehkan oleh fitnah dan ghibah di linimasa
Puisi-puisi jelek itu kini merajalela
Dirayakan para munafik
Membentur jidat-jidat kaum dungu yang pailit akhlak dan defisit akal-budi
Intelektual abal-abal bertaburan di layer kaca
Surplus benci dalam tiap-tiap diksi
Inflasi amarah di didih darahnya
Maka kusujudkan semesta batinku
Dalam Mihrab Puisi aku bertapa
Di akar rumput kubangun rumah tanpa pintu
Bergotong-royong dengan rakyat jelata
Merawat iman dan ilmu agar tak terbengkalai
Siapa pun yang nanti bertahta
Pesan puisi ini kutulis di cakrawala
Jagalah etika dan estetika satu bangsa
Gus Nas Jogja, 3 Juli 2023
Editor: Nabila Tias Novrianda/Addinda Zen