Home » Selamatkan Pekerja Migran Indonesia dari Calo dan Oknum Birokrat!

Selamatkan Pekerja Migran Indonesia dari Calo dan Oknum Birokrat!

Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Golkar Christina Aryani Desak Keseriusan Pemerintah

by Erna Sari Ulina Girsang
4 minutes read

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

“Pengiriman Pekerja Migran Indonesia ilegal terjadi nyata di depan mata kita. Berdasarkan temuan investigasi sebuah harian nasional, praktik ini melibatkan kerja kolektif calo tenaga kerja, oknum baik di birokrasi maupun aparat penegak hukum”.

Jika dicari datanya di google dengan kata kunci PMI alias Pekerja Migran Indonesia, maka informasi yang teratas dan paling banyak adalah soal kasus ketidakadilan yang mereka terima saat bekerja di luar negeri. Ada yang tidak mendapatkan gaji, ada yang disiksa dan diintimidasi, bahkan menjadi korban perdagangan manusia.

Kasus terbaru, pada pertengahan bulan ini, Polda Sulawesi Utara melaporkan bahwa ada 34 Warga Negara Indonesia diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di negara Kamboja. Awalnya, mereka diiming-imingi gaji tinggi, tetapi faktanya setelah bekerja beberapa bulan gaji yang mereka terima tidak sesuai.

Selama bekerja mereka diintimidasi agar tidak pulang ke Indonesia dan dikurung di rumah majikan untuk terus bekerja. Beruntung mereka berhasil menghubungi pihak KBRI di Kamboja, sehingga dapat dipulangkan ke Tanah Air.

Di bulan sebelumnya, November 2022, KBRI Kuching juga mendampingi 256 WNI yang sempat ditahan di Depo Tahanan Imigrasi Bekedu Miri di Sarawak. Ratusan WNI ini ditangkap saat bekerja di perusahaan kelapa sawit tanpa dokumen yang sah. Yang lebih miris, dari jumlah ini, sebanyak 72 orang adalah anak-anak.

Pada April, dilaporkan sebanyak 101 PMI tiba di Pelabuhan Nusantara, Kota Parepare, setelah dideportasi dari Malaysia. Alasan deportasi berbeda-beda, mulai dari dokumen illegal hingga masalah hukum lain.

Ini adalah data yang muncul ke publik. Muhammad Agus Bustami, Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah Sulsel, Maluku dan Papua, dalam sejumlah kesempatan menyebutkan tahun 2020 hingga 2022 ada sekitar 6.000 PMI dideportasi dari Malaysia.

Kasus- kasus ini menunjukkan bahwa Pemerintah memiliki dua pekerjaan penting soal PMI. Pertama memastikan bahwa PMI yang diberangkatkan secara resmi dan sesuai prosedur harus mendapatkan hak-haknya sudah bekerja di negara lain.

Di sisi lain, PMI yang mencari nafkah ke luar negeri dengan cara ilegal adalah korban dari oknum perusahaan jasa tenaga kerja illegal, oknum birokrat gadungan yang biasanya memanfaatkan ketidakpahaman dan keluguan para pencari kerja dengan janji-janji manis.

Christina Aryani, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, meminta banyaknya kasus yang terjadi membutuhkan keseriusan dari Pemerintah untuk PMI non-prosedural ke luar negeri. Dia mencontohnya, pengiriman PMI ke Malaysia dari Batam sudah menjadi rahasia umum. Mengapa Pemerintah tidak segera turun tangan?

Anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta II ini menyesalkan hasil investigasi sebuah harian nasional yang menemukan bahwa pengiriman PMI Non-prosedural ke Malaysia, bahkan terjadi terang-terangan dengan melibatkan para pelaku jasa tenaga kerja, birokrat dan penegak hukum.

“Pengiriman PMI non-prosedural ke Malaysia terjadi nyata di depan mata kita yang berdasarkan temuan investigasi sebuah harian nasional yang melibatkan kerja kolektif calo dan oknum baik di birokrasi maupun aparat penegak hukum,” ujar Christina kepada wartawan di Jakarta, Kamis (22/12/2022).

Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan pekerja migran Indonesia yang bekerja secara ilegal di luar negeri diperkirakan mencapai 5,3 juta orang. Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan PMI yang bekerja secara ilegal atau tak resmi, negara akan kesulitan, bahkan tidak tahu keberadaan maupun pekerjaan yang dijalani.

Baca Juga  The Hustle: Aksi Komedik Duo Penipu

Masih maraknya pengiriman PMI illegal ini tentu sangat disayangkan. Betapa tidak, komitmen untuk konsisten melawan praktik pengiriman PMI non-prosedural sudah diklarasikan menjadi political will Presiden Joko Widodo dan DPR RI sejak awal. Tentunya rakyat berharap agar komitmen ini tidak hanya sekedar pemanis di bibir saja, tanpa diikuti upaya mencapainya.

Di sisi lain, siapapun yang menjadi Presiden dan Wakil Rakyat di DPR, tentu kasus-kasus pengiriman pekerja secara illegal ini harus diperangi. Soalnya, ini adalah titik awal terjadinya malapetaka kemanusiaan. Dari awal diberangkatkan dari kampung halamannya saja, para pekerja ini sudah dimanipulasi dengan janji-janji palsu.

Kemudian, ketika dia keluar rumah dan tiba di negara orang lain. Siapa yang akan melindungi ketika terjadi kasus-kasus kemanusiaan, mulai dari rentan eksploitasi, kerja paksa, kecelakaan dalam perjalanan, dan lemahnya perlindungan hukum serta jaminan sosial di negara tujuan.

Lebih jauh, Christina Aryani menilai terrjadinya praktik ini secara kasat mata mengesankan ada pembiaran oleh pemerintah dan dapat dimaknai ketidakseriusan memberantas hal ini. DPR mendesak Pemerintah lebih serius menangani pemberangkatan PMI secara non-prosedural.

“Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah tindak pidana yang sarat dengan malapetaka kemanusiaan, sehingga perlu ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime,” tegas Christina.

Perpres Nomor 22/2021 Tidak Efektif

Sementara itu, dari sisi mekanisme pemberantasan TPPO melalui pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO melalui Perpres 69/2008 yang diperbarui dengan Perpres 22/2021, Christina menilai tidak efektif dan memiliki mekanisme kerja yang tidak jelas.

Dia menilai penanganan penanganan TPPO selama ini lebih bersifat ad hoc sebatas mengejar pelaku di lapangan tanpa menyentuh oknum birokrasi yang memfasilitasi jaringan pelaku TPPO. Keadaan ini, menurutnya, harus menjadi alarm serius bagi Pemerintah dan pantas menjadi evaluasi akhir tahun untuk selanjutnya mengupayakan langkah penanganan serius.

“Jargon berantas, lawan, sikat sudah sering dikumandangkan. Sudah saatnya Presiden memberikan perhatian lebih bahkan turun langsung mengatasi masalah ini agar pihak terkait bisa simultan bergerak. Kita tidak menginginkan praktik-praktik sindikat semacam ini terus terjadi, bahkan menempatkannya sebagai praktik lumrah yang memaksa kita memakluminya,” pungkas Christina.

Sementara itu, untuk pekerja migran yang diberangkatkan secara resmi atau sesuai dengan prosedur berdasarkan data BP2MI per Juni 2022 untuk sektor formal PMI mencapai 32.104 orang dan sektor informal berjumlah 30.083 orang. Jenis pekerjaan sebagian besar asisten rumah tangga (house maid) berjumlah 25.012 orang, pekerja (worker) sebanyak 10.785 orang dan operator sebanyak 3.298 orang.

Sedangkan, empat besar negara penerima PMI adalah Hongkong dengan jumlah 24.753 orang, Taiwan sebanyak 17.890 orang, Korea Selatan sebanyak 3.030 orang, serta Malaysia sebanyak 1.200 orang.

Meski diberangkatkan secara resmi, masih ada PMI yang mendapatkan ketidakadilan ketika melaksanakan pekerjaannya. Berdasarkan negara tempat bekerja, kasus pengaduan ketidakadilan yang diteriam PMI paling banyak terjadi di Malaysia, yaitu 293 pengaduan, Saudi Arabia ada sebanyak 201 pengaduan, Taiwan dengan 94 pengaduan dan Uni Emirat Arab sebanyak 53 pengaduan. *

Editor: Erna Sari Ulina Girsang

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life