Home » Lucunya Megawati, dan Proses Regenerasi PDI Perjuangan Yang Tak Lucu

Lucunya Megawati, dan Proses Regenerasi PDI Perjuangan Yang Tak Lucu

by Addinda Zen
5 minutes read
puan bersama megawati

ESENSI.TV - JAKARTA

Mantan Presiden serta Ketua Partai terbesar di negeri ini kembali melucu pada momen ulang tahun Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan beberapa waktu lalu. Tentu dengan berbagai gaya khasnya, perempuan berumur 76 tahun itu segera menjadi debat publik. Bisa saja, orang menganggap itu sebagai ice breaking, agar suasana cair, atau sebaliknya, kalimat implisit tentang apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Demikian politisi biasa mengungkapkan maksudnya, memakai analogi, cerita, lelucon, termasuk melucu pada diri sendiri.

Mega berkelakar, “Kalau aku mau selfie, pasti pengikutku akeh (banyak). Kenapa? Satu, perempuan. Dua, cantik,” kata Megawati sambil tertawa.  “Tiga, karismatik. Empat, pintar,” ucap Megawati lagi. Anak kedua, dan putri pertama Bung Karno ini tak lupa mengingatkan hadirin, bahwa dia telah menyandang dua gelar profesor dan sembilan gelar doktor Honoris Causa. Ada lima gelar lain yang rencananya dianugerahkan ke dirinya.

Kelakar yang memang lucu ini sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa dia adalah politisi terbaik di negeri ini. Dia lalu menambahkan bahwa dia juga yang paling berkuasa dengan mengatakan, “Pak Jokowi kalau enggak ada PDI-Perjuangan, ya kasian dah. Lho, legal formal lho. Mereka jadi presiden enggak ada gini, legal formal, ikutan aturan mainnya,”. Tidak ada yang salah dengan kelakar Mega, sama sekali tidak. Itu faktual, karena memang Presiden Joko Widodo diusung PDI-Perjuangan bahkan sejak menjadi Walikota Solo.

Mengapa lantas Megawati perlu mengumumkan informasi yang semua orang juga sudah tahu? Ya tentu karena pemilihan umum sudah di depan mata. Ini adalah tahun politik, semua mata bertanya-tanya, siapa presiden selanjutnya. Dalam hal ini, Mega juga mulai pelan-pelan membocorkan pilihannya, sembari menimang reaksi publik. Pilihannya jatuh kepada anak kesayangannya, Puan Maharani.

Indikasi ini tidak bisa disangkal. Dimulai dari kode pertama capres pilihannya adalah dengan mengatakan bahwa pemimpin strategis itu harus turun ke rakyat, pada pidato pengukuhan Profesor Kehormatan di Universitas Pertahanan, 11 Juni 2021, di Sentul, Jawa Barat. Ungkapan ini kemudian disusul oleh safari politik Puan, yang tak lama kemudian berkeliling Indonesia. Ini sekaligus memberi tanda, Ganjar Pranowo bukanlah pilihannya, sebab dia tak mungkin melakukan itu. Hal ini ditegaskan kemudian oleh PDIP dengan melarang Ganjar keluar daerah untuk urusan politik.

Kode Politik dari Mega untuk Puan

Ada banyak kode-kode politik yang disebutkan Mega untuk Puan, seperti yang pernah dia lakukan untuk Jokowi sebelum penetapan pada pilpres 2014 dan 2019. Pada pidato acara ultah PDIP kemarin, Mega menyebut kata perempuan 28 kali. Ini bukan kode keras, tapi mempertegas; Puan!

Sebagai pemegang mandat tertinggi partai, Mega tidak salah, pilihannya sah-sah saja. Itu adalah mekanisme internal yang tidak boleh dicampuri oleh orang luar. PDI-P tidak sendiri, banyak partai politik mengikutinya, misalnya Partai Demokrat dengan menunjuk Agus Harimurti Yudhoyono sebagai ketua umum. Juga, Partai Nasional Demokrat/Nasdem, yang menunjuk anak Ketua Umum Surya Paloh, Prananda Surya Paloh sebagai Ketua Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu DPP Partai NasDem, dan Ketua Umum DPP Garda Pemuda NasDem. Tentu, takdir Prananda tampak sudah tergaris, akan seperti Puan atau Agus.

Contoh Buruk Demokrasi

Cendekiawan Yudi Latif pernah mengatakan dalam sebuah artikel di media bahwa demokrasi tanpa kepemimpinan hanya melahirkan gerombolan. Dalam gerombolan, kepentingan warga negara mudah menjelma menjadi anarki. Kekerasan, pemaksaan, dan pelanggaran pun tak terelakkan.

Sistem politik demokrasi awalnya didesain untuk menciptakan sosok pemimpin yang merepresentasikan kepentingan orang banyak. Saluran-saluran suara kepentingan rakyat dipecah berdasarkan perbedaan aspirasi yang ditampung oleh partai-partai politik, sebagai wakil suara untuk mewujudkan keinginan masyarakat. Ia seharusnya ampuh untuk itu. Namun, yang terjadi di Indonesia masih jauh dari itu.

Infrastruktur politik sudah lengkap, mulai dari sistem kepartaian dan bahkan ketatanegaraan pun demikian. Ada kamar-kamar eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Permasalahannya ada pada hulu, yaitu pada saluran yang menampung suara; parpol. Sistem dan regenerasi pucuk-pucuk penguasa parpol justru masih menerapkan sistem kuno, mengandalkan pada keturunan seperti dalam aristokrasi, atau bahkan cocok juga bila disebut monarki.

Ini mengakibatkan jargon demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan terkooptasi, dikorupsi sejak dini. Suara rakyat yang diperoleh parpol tidak dipakai untuk memilih sosok pemimpin parpol yang representatif, melainkan sebagai alat untuk merebut kekuasaan eksekutif. Sistem suksesi parpol yang aristokrat ini pula kemudian membuat rakyat tidak bisa memilih presiden sesuai seleranya.

Baca Juga  Penganiayaan yang Dilakukan Anak Pejabat Pajak Menyeret Sang Ayah Sampai Ke KPK

Betul bahwa rakyat bisa memilih langsung, namun sistem presidential threshold 20% atau pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut maupun dengan gabungan membuat pilihan rakyat tersandera. Sebab, capres ditentukan oleh parpol dengan minimal suara atau gabungan 20%.

Ini sebenarnya tidak masalah dan bagus-bagus saja, sepanjang proses seleksi pimpinan parpol berjalan dengan sistem yang benar. Untuk mencari pemimpin, Presiden pada sistem demokrasi, butuh meritokrasi. Meritokrasi merupakan solusi atas nepotisme, korupsi, dan kolusi yang pernah terjadi pada zaman Orde Baru. Namun, sebelum menuju ke sana, syarat dasar dan utamanya adalah mengubah kaderisasi dan suksesi di parpol juga dengan menggunakan meritokrasi.

Partai Paling Meritokrat

Meritokrasi berasal dari kata merit, dari bahasa Latin: mereō; dan -krasi, dari bahasa Yunani Kuno: κράτος kratos, berarti ‘kekuatan, kekuasaan’. Artinya, sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial.

Kemajuan dalam sistem seperti ini didasarkan pada kinerja, yang dinilai melalui pengujian atau pencapaian yang ditunjukkan. Meskipun konsep meritokrasi telah ada berabad-abad lamanya, istilah ini sendiri diciptakan pada tahun 1958 oleh sosiolog Michael Dunlop Young dalam buku distopia politik dan satire-nya yang berjudul The Rise of the Meritocracy. Ada juga yang bilang diperkenalkan pertama oleh Young (1959).

Konsep merit mengutamakan IQ dan effort untuk mencapai suatu posisi. Pemaknaan mengenai meritokrasi itu sendiri mengalami perkembangan. Berdasarkan pemaknaannya, meritokrasi merupakan sebuah sistem sosial yang mempengaruhi kemajuan dalam masyarakat berdasarkan kemampuan dan prestasi individu daripada basis keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial (Kim & Choi, 2017).

Tidak ada satupun parpol di Indonesia yang sudah benar-benar menerapkan sistem meritokrasi dengan baik. Paling tidak, hanya ada yang memutus rantai aristokrasi-monarki, atau ‘partai keluarga’ dalam proses ‘kepemilikan’ lingkaran elit pendiri partai. Dari 10 partai hasil pemilihan legislatif 2019, lima partai masih terjebak pada aristokrasi-monarki, sementara lima lain sudah lepas dari sosok pendiri. Partai Golkar misalnya yang sudah terlepas dari dominasi klan Presiden Soeharto, PKB dari Gus Dur, PAN dari Amien Rais, PKS dari para pendiri awal, demikian juga PPP.

 

Partai Pemenang Pemilu 2019

1. PDI-P, jumlah suara: 27.503.961 (19,33 persen)

2. Golkar, jumlah suara: 17.229.789 (12,31 persen)

3. Gerindra, jumlah suara: 17.596.839 (12,57 persen)

4. Nasdem, jumlah suara: 12.661.792 (9,05 persen)

5. PKB, jumlah suara: 13.570.970 (9,69 persen)

6. Demokrat, jumlah suara: 10.876.057 (7,77 persen)

7. PKS, jumlah suara: 11.493.663 (8,21 persen)

8. PAN, jumlah suara: 9.572.623 (6,84 persen)

9. PPP, jumlah suara: 6.323.147 (4,52 persen)

Dari kelima partai tersebut, Partai Golkar dan PPP adalah partai warisan Orde Baru yang justru bisa keluar dari paradigma ‘partai keluarga’. Sementara PDI-Perjuangan yang merupakan penentang Orde Baru, malah masih menerapkan pola yang mirip dilakukan Soeharto pada Golkar dulu. Golkar, sebagaimana PPP bisa keluar dari sistem aristokrasi dan menjadi partai modern, dengan paling memungkinkan menerapkan sistem meritokrasi dalam proses regenerasi pimpinan.

Memang ada catatan untuk Partai Golkar, ketika putra Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ravindra Airlangga kini bisa melenggang ke Senayan. Namun, Ravindra tidak tiba-tiba menduduki kursi basah di partai. Proses menjadi wakil rakyat dari Golkar melalui mekanisme politik, melalui pengganti antar waktu (PAW). Di antara top three, partai pemenang pemilu 2024, Golkar yang paling berpeluang menerapkan sistem meritokrasi dengan baik.

Sistem demokrasi Indonesia membutuhkan meritokrasi, di mana untuk menuju ke sana dibutuhkan parpol-parpol yang sejak dini sudah menerapkan sistem itu. Dengan begitu, para pemimpin bangsa ini, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif terpilih berdasarkan kapasitas yang mumpuni sehingga bisa melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.

Oleh:

Azrina Hartina Awal S.Tr.M., M.M (Pemerhati Politik dari Sulawesi Utara)

 

Editor: Addinda Zen

addindazen@esensi.tv

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life