Hingga akhir September 2023, utang pemerintah mengalami peningkatan menjadi Rp7.891,61 triliun dari sebelumnya Rp7.870,35 triliun pada Agustus 2023. Atau naik Rp21,26 triliun.
Karena itu, pemerintah diingatkan untuk menggunakan utang tersebut kepada kepentingan yang bersifat produktif.
“Kalau utang ini produktif artinya kemampuan bayarnya langsung ada. Nah, tapi kalau utang itu tidak produktif artinya return atau benefit yang kita bangun dari uang utang ini masih panjang. Itu menjadi beban,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan.
Ia menegaskan, pemerintah harus kembali mengatur skala prioritas terkait pembiayaan yang berasal dari utang. Termasuk mempertimbangkan dampaknya bagi perekonomian.
“Jadi kembali lagi kita akan bicara. Bahwa pemerintah harus mengatur lagi skala prioritasnya. Kalau pembiayaan itu dengan utang harus dilihat lagi apakah ini produktif? Apakah ini harus sekarang? Apakah akan berdampak pada perekonomian kita? Kalau belum, ya pending dulu!” tegas anggota Badan Anggaran DPR RI itu, dikutip, Jumat (3/11/2023) di Jakarta.
Marwan mengatakan, pemerintah sendiri memiliki dua jenis utang yaitu dalam bentuk surat berharga negara (SBN) dan pinjaman.
Mayoritas utang sampai September 2023 masih didominasi oleh instrumen SBN yakni 88,86% dan sisanya pinjaman 11,14%.
Jumlah utang senilai Rp7.891,61 triliun ini membuat rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) per September 2023 menjadi 37,95%. Atau naik dari bulan sebelumnya yang di angka 37,84%.
“Meski begitu, disinyalir masih jauh di bawah Rasio. Masih jauh batas yang ditetapkan dalam UU Nomor 1 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mewajibkan rasio utang pemerintah adalah maksimal 60% dari PDB,” jelas Marwan.*
#beritaviral
#beritaterkini
Email : junitaariani@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang/Raja H Napitupulu