Komnas HAM mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) untuk bertanggung jawab terhadap modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hal ini merupakan buntut kejadian TPPO di Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Komisioner Komnas Ham, Anis Hidayah menyampaikan, TPPO dengan modus magang perguruan tinggi sudah terjadi sejak 15 tahun lalu.
Modus TPPO di perguruan tinggi menargetkan anak-anak tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan mahasiswa yang memiliki program magang. Modus ini terjadi di beberapa negara Asia Tenggara.
“Jadi kalau di tingkat SMK biasanya adalah anak magang kelas 3, biasanya di beberapa negara di Asia Tenggara, terutama Malaysia, sudah banyak kasus yang terjadi,” jelas Anis.
Menurut Anis, saat ini Kemdikbudristek sebagai satuan tugas pencegahan TPPO belum menjalankan perannya secara maksimal.
“Tapi yang terjadi selama ini adalah peran tanggungjawab Kemendikbudristek sebagai bagian dari satgas TPPO enggak jalan,” ujarnya.
TPPO Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
Sebelumnya, sebanyak 11 mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh menjadi korban TPPO dengan modus magang ke Jepang. Ketika dikirim ke Jepang, para mahasiswa justru bekerja sebagai buruh. Hal ini disampaikan Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Badan Reserse Kriminal Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro.
“Selama satu tahun magang korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang. Akan tetapi bekerja seperti buruh,” ujar Djuhandani.
Para mahasiswa yang dikirim ke Jepang bekerja selama 14 jam, mulai pukul 08.00 hingga 22.00. Tidak hanya itu, para mahasiswa juga bekerja setiap hari tanpa libur. Mahasiswa tersebut juga tidak diperbolehkan untuk beribadah dan hanya diberi waktu istirahat 10-15 menit.
Untuk upah, para mahasiswa diberikan upah sebesar 50.000 Yen per bulan atau setara dengan Rp5 juta. Meski begitu, mereka diwajibkan memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 Yen atau sekitar Rp2 juta per bulannya.
Polisi menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini, yaitu G dan EH. Kedua tersangka merupakan direktur di politeknik tersebut dalam periode yang berbeda.
Editor: Dimas Adi Putra