Home » Ujian Keabsahan Sistem Proporsional Terbuka di Masa Konsolidasi Politik Jelang Pemilu 2024

Ujian Keabsahan Sistem Proporsional Terbuka di Masa Konsolidasi Politik Jelang Pemilu 2024

by Erna Sari Ulina Girsang
4 minutes read
maskot Pemilu 2024 Foto KPU

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

Sistem daftar tertutup punya keunggulan dalam menjaga kohesivitas partai. Sedangkan, sistem proporsional terbuka dipandang lebih demokratis, memberdayakan pemilih dan membangun kedekatan konstituen dengan calon, sehingga dapat meminimalisir peluang penyalahgunaan kekuasaan.

Tahun depan, tanggal 14 Februari 2024, ketika sebagian masyarakat di dunia merayakan Hari Kasih Sayang (Valentine Day), Indonesia akan merayakan pesta demokrasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota legialstif di DPR, DPR dan DPRD Kota dan Kabupaten.

Jika dihitung mundur, maka Pemilu tinggal 339 hari lagi. Jadi tentunya masyarakat berharap semua pihak, mulai dari Partai Politik yang menyiapkan para kadernya dan tokoh masyarakat untuk menjadi calon Presiden, Wakil Presiden dan calon wakil rakyat, sudah siap.

tahapan pemilih foto kpu 1

Tahapan Pemiliu. Foto: KPU

Masyarakat juga tentunya berharap bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu sudah sudah matang dalam perencanaan dan persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum.

KPU telah menetapkan 17 partai politik (parpol) peserta Pemilu. Jadi, para parpol juga telah menyusun para peserta pemilu yang mewakilinya. Dengan demikian, warga negara sebagai pemilih sudah bisa mulai mempelajari jejak rekor dan potensi peserta Pemilu.

Jadi, sebenarnya iklim demokrasi sudah cukup kondusif. Namun, ternyata ada polemik baru di tengah masyarakat. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedang dalam proses pengujian yudisial (Judicial Review) karena adanya gugatan dari kelompok masyarakat.

Mahkamah Konstitusi (MK) diminta mengkaji kembali Sistem Proporsional Daftar Terbuka yang berjalan sejak 2004. Uji materil diajukan oleh kader PDIP Demas Brian Wicaksono. Kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nono Marijono.

Adapun alasan yang disampaikan para pemohon dalam sidang perdana, yaitu sistem Pemilu yang memilih calon legislatif secara langsung, dinilai hanya menjual diri calon bermodal populer, tanpa ikatan ideologis dengan partai.

Pengalaman Organisasi Partai

Kemudian, calon yang dipilih secara terbuka tidak punya pengalaman organisasi partai politik atau organisasi sosial politik. Sehingga, ketika terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD, calon legislatif itu tidak mewakili partai politik, tetapi mewakili diri sendiri.

Alasan lainnya adalah tidak ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa yang layak menjadi wakil partai di parlemen, setelah melalui proses pendidikan, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, pemohon menilai sistem pemilihan calon legislatif secara langsung, menimbulkan individualisme para politisi yang mengakibatkan konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik, sehingga proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik.

Jika gugatan ini dikabulkan MK, maka artinya Indonesia akan mengunakan sistem lain, yaitu sistem proporsional daftar tertutup, yaitu pemilihan anggota legislatif diserahkan kepada Partai Poltik seperti Pemilu tahun 1955 hingga 1999.

Mau tidak mau tuntutan ini langsung menjadi polemik baru dan disoroti oleh banyak pengamat politik dan politisi yang sedang menyaksikan masa konsolidasi dan benah-benah di seluruh pemangku kepentingan pendukung konstitusionalisme dan demokrasi.

Mereka menilai seharusnya tahun ini digunakan sebagai tahun konsolidasi politik antara semua pihak, termasuk di kalangan masyarakat sebagai pemilih, bukan mengubah sistem yang sudah berjalan dengan baik selama hampir 20 terakhir, sehingga menimbulkan polemik baru sebenarnya sudah final.

Apalagi, sepanjang tahun 2022, Indonesia cukup dipadati dengan berbagai dinamika politik. Mulai dari pencalonan Capres, wacana perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode hingga isu intimidasi kepada KPU soal meloloskan atau tidak meloloskan parpol.

Baca Juga  Pabrik Sepatu Gulung Tikar, 600 Karyawan Jadi Pengangguran

“Kami mendorong semua pihak, mulai dari lembaga legislatif dan partai politik hingga Pemerintah dan semua lembaga pendukung Pemilu melakukan konsolidasi di tahun 2023 guna mensukseskan Pemilu tahun 2024,” jelas Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus, dalam keterangan tertulis yang dilansir dari DPR RI, Senin (9/1/2023).

Delapan Partai Politik

Sejalan dengan pandangan ini, sebanyak delapan parpol juga telah menyatakan sikapnya menolak Pemilu dengan sistem proporsional tertutup, yaitu Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN dan PPP.

Sistem pemilu proporsional tertutup dinilai sebagai kemunduran bagi demokrasi. Sedangkan, sistem Pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat. Rakyat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh parpol.

“Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi,” kata Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, baru-baru ini.

Sistem proporsional terbuka dinilai sudah final ketika disahkan oleh lembaga yang sama, yaitu Mahkamah Konstitusi lewat putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Sistem Proporsional Terbuka.

Tidak hanya di kalangan politisi, para akademisi dan pengamat politik juga menilai sistem proporsional terbuka seharusnya sudah selesai dengan adanya putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 silam.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan MK telah menyatakan sistem pemilu proporsional terbuka adalah pilihan konstitusional yang mengejawantahkan atau menerapkan konstitusi pasal 1 ayat 2 soal kedaulatan rakyat. (Merdeka.com, Selasa tanggal 10 Januari 2023).

Menurutnya, penafsiran perihal kedaulatan rakyat dalam sistem pemilu telah sesuai penerapan proporsional terbuka. Dengan kekuasaan penuh ada di tangan rakyat dalam menentukan pilihannya apakah ke calon legislatif langsung atau partai.

Dia menilai sistem proporsional terbuka sudah sesuai dengan asas Pemilu, yaitu Luber (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil). Sehingga telah sejalan dengan UUD 1945 Pasal 22E.

Sedangkan, kalau meletakan sistem proporsional tertutup, maka peletakan penentuan calon legislatif itu berada di tangan Ketua Partai. Tidak hanya dari sisi substansi, dia menilai jika MK mengabulkan gugatan tersebut akan berimbas pada pelaksanaan Pemilu mendatang.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Marianus Kleden mengatakan, pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka lebih demokratis daripada proporsional tertutup.

“Selain lebih demokratis, sistem proporsional terbuka juga lebih menghargai aspirasi warga yang menghendaki jagoan mereka menang dalam Pemilu. Ini merupakan sistem yang menguntungkan calon karena pemilih langsung memilih orang, bukan memilih partai,” jelasnya. (Antara, Senin tanggal 9 Januari 2023).

Arif Susanto, Analis Politik Exposit Strategic, berpendapat sistem proporsional tertutup punya keunggulan dalam menjaga kohesivitas partai. Sedangkan, sistem daftar terbuka dipandang lebih memberdayakan pemilih dan membangun kedekatan konstituen dengan calon, sehingga dapat meminimalisir peluang penyalahgunaan kekuasaan.

Arif mengatakan tidak ada sistem yang benar-benar sempurna. Masalah Pemilu di Indonesia saat ini bukanlah terletak pada sistem pemilihannya, sehingga mengubah pilihan struktur pemberian suara dari terbuka menjadi tertutup atau sebaliknya tidak akan menyelesaikan masalah yang berakar bukan dari dalam sistem tersebut. *

Editor: Erna Sari Ulina Girsang

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life