Home » Indonesia, Vietnam, Singapura Getol Bikin Kapal Selam, Tersulut AS dan China?

Indonesia, Vietnam, Singapura Getol Bikin Kapal Selam, Tersulut AS dan China?

Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Myanmar memang sudah memiliki kapal selam.

by vera bebbington
1 minutes read
Kapal selam/dok. PAL Indonesia

ESENSI.TV - JAKARTA

Sejumlah negara di Asia Tenggara (ASEAN) yakni Indonesia, Vietnam, Thailand, Singapura, Myanmar, Malaysia, dan Filipina berlomba-lomba meningkatkan armada kapal selam seiring dengan upaya melindungi kedaulatan laut di negaranya masing-masing.

Dalam artikel di South China Morning Post (SCMP) yang ditulis Maria Siow, disebutkan bahwa di kawasan ini, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Myanmar memang sudah memiliki kapal selam dan dalam proses memperkuat armada, sementara Thailand, dan Filipina sedang dalam proses order.

Awal Desember 2022, Singapura memulai fase pengembangan kapal selam berikutnya dengan kapal selam kelas Invincible buatan Jerman yang baru dibangun.

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengatakan sebagai salah satu negara pulau atau negara maritim, angkatan laut Negeri Merlion punya misi penting untuk memastikan kelangsungan hidup dan menjaga jalur komunikasi laut tetap terbuka.

Untuk Indonesia, pada Februari 2022, Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian dengan Prancis untuk berkolaborasi dalam pembangunan dua kapal selam Scorpène.

Kapal bawah air ini dilaporkan sangat baik dalam menghindari pengamatan, sangat cepat, dan mampu melakukan misi seperti perang bawah laut dan serangan jarak jauh.

Adapun Vietnam memiliki enam unit, terbesar di kawasan ini. Pada tahun 2009, Vietnam membeli enam kapal selam kelas Kilo senilai US$ 2 miliar dari Rusia, menjadikannya armada kapal selam terbesar di Asia Tenggara.

Ian Storey, rekan senior di Institut ISEAS-Yusof Ishak di Singapura, mengatakan ada alasan strategis yang memaksa negara-negara ASEAN seperti Vietnam untuk mengoperasikan kapal selam, apalagi Vietnam terkunci dalam sengketa teritorial jangka panjang dengan China.

“Enam kapal selam Vietnam akan membuat China berpikir dua kali sebelum mencoba menduduki atol Vietnam di Laut China Selatan,” kata Storey, dilansir SCMP, Senin (2/1/2023).

“Dan [jika] konflik pecah, kapal selam itu akan memungkinkan Angkatan Laut Vietnam untuk melarang dan menenggelamkan kapal perang Tiongkok.”

Namun menurut dia, rencana negara lain seperti Thailand yang membeli kapal selam dinilai hanya ikut-ikutan negara tetangga.

Pada tahun 2017, Thailand menandatangani kesepakatan dengan China untuk membeli tiga kapal selam kelas Yuan, tetapi pengembang kapal selam milik China tidak dapat memperoleh mesin diesel yang diperlukan dari Jerman karena embargo senjata Uni Eropa yang diberlakukan di Beijing.

Sementara laporan muncul bahwa Angkatan Laut Thailand sedang berdiskusi dengan pabrikan China, kemungkinan mengganti mesin, ada juga pembicaraan bahwa kontrak kemungkinan akan dibatalkan.

Storey mengatakan bahwa banyak angkatan laut di seluruh dunia ingin membeli kapal selam hanya karena mereka tidak menganggap diri mereka sebagai “angkatan laut yang tepat” jika tanpa kapal selam.

“Tapi kapal selam adalah salah satu sistem angkatan laut yang paling kompleks dan mahal untuk dioperasikan, dan ini terkadang berarti angkatan laut tidak dapat menggunakannya secara efektif, mereka menjadi simbol kekuatan daripada kapal perang yang serius,” tambahnya.

“Saat kapal selam berkembang biak di Asia Tenggara, bahaya tabrakan atau kecelakaan di laut meningkat. Ini mengkhawatirkan karena sangat sedikit angkatan laut regional yang memiliki kapal penyelamat kapal selam.”

Baca Juga  Indonesia Darurat Skizofrenia

Joshua Bernard Espeña, seorang resident fellow di International Development and Security Cooperation (IDSC) di Manila, mengatakan dalam mengakuisisi kapal selam, Filipina harus mempertimbangkan mengapa dan bagaimana kemampuan kapal selam tersebut dapat mengatasi masalah keamanan eksternalnya.

“Secara kuantitatif, dua kapal selam hampir tidak dapat membuat perbedaan taktis, operasional, dan strategis, secara kualitatif, itu harus memperhitungkan apakah negara akan berperang sendiri atau dengan sekutu Amerikanya, dan sebagian besar, siapa yang harus dilawan,” kata Espeña.

Angkatan Laut Filipina sejak tahun lalu telah mencari kapal selam pertamanya, tetapi efek pandemi menghambat pencarian. Prancis dilaporkan telah menawarkan dua kapal selam berperforma tinggi sebagai imbalan izin untuk menjelajahi “perairan berdaulat” negara Asia Tenggara itu.

Espeña mengatakan bahwa perairan Asia Tenggara yang dangkal menimbulkan tantangan taktis dan operasional bagi angkatan laut Asia Tenggara, terutama dalam menjaga kemampuan kapal siluman.

“[Kapal selam ini akan] mempengaruhi kredibilitas pencegah dan perang,” katanya. Dia “skeptis” tentang kemampuan beberapa kapal selam untuk memberikan kesadaran domain maritim sepanjang waktu untuk mencakup wilayah maritim Asia Tenggara yang luas.

“Pengadaan beberapa kapal selam tidak akan membuat perbedaan besar, mempertahankannya akan mahal karena pemeliharaan suku cadang, pelatihan awak, dan tindakan darurat bahaya seringkali menjadi tantangan,” kata Espeña.

Tanpa adanya musuh yang tepat dan di mana harus berperang melawan mereka, “kapal selam hanyalah mainan mahal untuk dibanggakan dengan teman bermain Anda di taman bermain,” katanya.

Menurut Aristyo Darmawan, dosen hukum internasional Universitas Indonesia, tingginya kebutuhan kapal selam oleh negara-negara Asia Tenggara didorong persaingan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Menurut lembaga non profit Nuclear Threat Initiative, AS memiliki sekitar 66 kapal selam, termasuk lebih dari 50 kapal selam serang bertenaga nuklir.

Sementara itu, menurut laporan Departemen Pertahanan AS yang dikeluarkan tahun lalu, China juga disebutkan memiliki 6 kapal selam rudal balistik bertenaga nuklir, 6 kapal selam serang bertenaga nuklir, dan 46 kapal selam serang bertenaga diesel.

“Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat bagaimana Laut China Selatan semakin termiliterisasi,” kata Darmawan.

Selama beberapa tahun terakhir, Beijing telah sepenuhnya memiliterisasi setidaknya tiga dari beberapa pulau yang dibangunnya di jalur lau yang disengketakan.

Darmawan mengatakan logis dan perlu bagi negara-negara Asia Tenggara untuk mencoba memperkuat wilayah lautnya dengan kapal selam karena wilayah tersebut terletak pada jalur laut yang strategis dengan lalu lintas yang padat.

“Masuk akal juga bagi negara-negara untuk mengikuti perkembangan pertahanan di kawasan, kata Darmawan.

Penguatan ini termasuk keberadaan kendaraan bawah permukaan air tanpa awak atau Unmanned Underwater Vehicles (UUV, biasa dikenal dengan drobe bawah air) yang sering ditemukan di perairan teritorial dan sebagian besar milik China dan AS. UUV dapat beroperasi tanpa penumpang dan dapat digunakan untuk berbagai tugas termasuk eksplorasi ilmiah dan pengumpulan intelijen.

*

Editor: Erna Sari Ulina Girsang

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life