Home » Magnet NU untuk Politik Indonesia

Magnet NU untuk Politik Indonesia

by Administrator Esensi
4 minutes read
muktamar nu medium 1636296424

ESENSI.TV - JAKARTA

Tak lama setelah mendapuk kursi nomor satu organisasi massa terbesar di Indonesia, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya secara tegas mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) secara kelembagaan tidak akan pernah terlibat dalam politik praktis. Ia mengatakan, tidak ada larangan warga NU berpolitik. Namun, tidak boleh memakai embel-embel NU dalam berpolitik atau kampanye.

Ia menegaskan, itu berlaku baik di partai yang dilahirkan NU (Partai Kebangkitan Bangsa/PKB) atau tidak dilahirkan NU (non-PKB). Menurutnya, seluruh partai ada keterlibatan Nahdliyin. Putra salah satu pendiri PKB, KH. M. Cholil Bisri ini seolah menegaskan bahwa PKB bukan partai yang merepresentasikan NU.

Keputusan tegas Gus Yahya mengacu pada Khittah Nahdliyah Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo. Atau hasil Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Krapyak Yogyakarta. Hasil keputusannya berupa 9 pokok pedoman berpolitik bagi warga NU. Pilihan Gus Yahya ini masuk akal, sebab penggunaan atribut organisasi Islam telah banyak memberikan dampak buruk. Misalnya, seperti yang terjadi di Nigeria dan India.

 

NU Magnet Politik

NU adalah magnet massa yang diperebutkan kekuatan politik dari masa ke masa. Jumlah anggotanya amat besar, mencapai 50 persen muslim Indonesia. NU sendiri sudah kenyang dengan pengalaman politik. Ini dimulai pada era orde lama. Ditandai dengan penarikan diri NU dari Masyumi pada 1952 yang langsung menggembosi partai Islam itu.

Keterlibatan NU pada politik praktis berlanjut pada era orde baru saat Presiden Soeharto melakukan pengelompokkan partai-partai politik. Partai-partai yang sudah ada ingin dikelompokkan oleh rezim dalam tiga jenis, yaitu nasional, spiritual, dan karya.

Kelompok karya menghimpun mereka yang ada di Sekber Golkar. Kelompok nasional menghimpun Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Nasional Indonesia (PNI). Sementara kelompok spiritual menghimpun NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) kesemuanya masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Akhir masa Orde Baru, NU kembali memperoleh tempat yang selayaknya. Ini sebagai akibat politik pragmatis yang dilakukan oleh pemerintah. Melalui pengakuan, Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi segenap organisasi, yang hal tersebut adalah bentuk dukungan kepada pemerintah, maka NU kembali dianggap sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki kekuatan sebagai pendukung pemerintah.

 

Diaspora Politik Warga Nahdliyin

Pendirian Partai Kebangkitan Bangsa oleh Gus Dur tahun 1998, sempat mencitrakan bahwa PKB adalah NU. Meski mungkin tidak seratus persen, Gus Dur yang saat itu menahkodai PKB secara langsung mampu membawa PKB menjadi partai yang meraih perolehan suara sangat signifikan di tahun 1999. Bahkan kala itu, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4 dan menjadi orang pertama yang lahir dari rahim NU serta mampu menduduki posisi tertinggi di negeri ini. Dan capaian Gus Dur itu rupanya masih sulit untuk bisa ulang oleh PKB saat ini.

Gus Yahya pernah mengatakan warga NU tersebar merata di sejumlah partai politik. Disebutkan, partai yang mengklaim paling NU kurang dari 10 persen, sedangkan NU sendiri lebih dari 50 persen muslim Indonesia. Orang NU bebas berpolitik, katanya. Banyak yang kemudian memang menjadi aktivis dan tokoh partai politik tanpa perlu melekatkan embel-embel NU.

 

Tokoh-Tokoh NU di Partai Politik

Selain PKB, bisa jadi Golkar adalah satu-satunya partai nasionalis yang dihuni oleh banyak tokoh NU di dalamnya. Rasa-rasanya tidak terlalu sulit mencari kader NU yang ada di Partai Golkar. Ada Jusuf Kalla, Ketum Partai Golkar 2004-2009. Tokoh lain, misalnya Slamet Effendi Yusuf, Akbar Tanjung (orang tuanya NU), Idrus Marham, Mujib Ahmad, dan Nusron Wahid. Bahkan, cucu KH. Wahab Chasbullah, Gus Shoahul Aam Notobuwono saat ini juga menjadi bagian dari Partai Golkar dengan posisinya sebagai Wakil Sekretaris Bidang Kerohanian DPP Partai Golkar.

Baca Juga  Menanti Kepulangan PKB

Di level daerah ada putri ke-7 Almarhum KH Fuad Hasyim, Nuning Fuad Hasyim. Ada juga Ace Hasan Syadzily, yang merupakan kader Ansor dan saat ini menjabat sebagai Ketua LPBI (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim) PBNU. Ia adalah putra seorang KH. TB Rafei Ali Banten merupakan tokoh NU yang menghabiskan masa mudanya di Pesantren Cipasung Tasikmalaya dan Pesantren Krapyak Yogyakarta. Ada Ketua DPD Golkar Jawa Timur, Sarmuji, yang dulu ketika muda sempat mencatatkan namanya sebagai Ketua PC IPNU Kota Surabaya Di Kab Cirebon, Teguh Rusiana Merdeka yang juga keponakan KH. Abuya Munfasir Banten. Dan masih banyak yang lainnya.

Tidak hanya di Golkar, di PDI Perjuangan ada nama Ketua Umum Pagar Nusa, Gus Nabil Harun yang merupakan Anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI. Ada nama Gus Coy di NasDem, Gus Irpan di Gerindra, dan masih banyak lagi yang lainnya. Catatan ini tentu menjadi sebuah fakta diaspora kader NU dalam urusan politik sudah sangat luar biasa. Sebuah bukti nyata bahwa NU adalah pabrik yang berhasil memproduksi kader-kader unggul yang siap mewakafkan dirinya untuk umat dan NKRI melalui perjuangan politik.

 

Peran NU dalam Pembangunan Indonesia

Umat Islam melalui NU memegang peran penting dalam pembangunan Indonesia. Kemudian, peran penting tersebut membutuhkan pondasi yang kuat berupa akhlak dan terjaganya persatuan dan kesatuan umat.

Penguatan pondasi sangat penting karena tujuan pembangunan itu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, NU memiliki struktur hingga ke lapisan tatanan masyarakat terbawah. Selain itu, NU dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Sejak perang kemerdekaan, NU sudah berdiri di garis depan untuk melawan penjajahan. Khususnya saat perumusan dasar negara, para ulama NU dengan yakin menghilangkan kata kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ini bentuk kesadaran ulama tentang kebhinekaan bangsa kita.

Pasca pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017 lalu, fenomena informasi hoaks dan upaya saling mencaci muncul sehingga menciptaka friksi yang begitu kuat. Jika kondisi ini dibiarkan, fenomena itu berpotensi memecah persatuan masyarakat. Hal itu diperparah dengan  munculnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama namun bermaksud mengancam persatuan. Karenanya, kehadiran NU dengan kebesaran hati, pengalaman pahit getirnya perjuangan dan besarnya tanggungjawab untuk memelihara multikulturalisme yang berkembang di Indonesia, menjadi asa kuat bagi Indonesia.

Harus diakui, bahwa hal ini menjadi sumber kekuatan NU dalam menjalankan perannya. Perbedaan yang ada tidak boleh menjadi alasan untuk bercerai-berai selaras dengan prinsip Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”. Kita memang berbeda suku, bangsa, hingga ada yang berbeda pemahaman agama dan praktek beragama, tapi, kita harus tetap bersatu.

Memperingati Hari Lahirnya NU yang jatuh pada hari ini, Selasa 31 Januari 2023, dan menuju Satu Abad usia NU (versi hijriah) yang puncaknya akan dilaksanakan 7 Februari 2023 mendatang, semakin memberikan semangat dan perspektif baru dalam memandang serta memaknai kemajemukan masyarakat Indonesia. Selain itu, keberbedaan masyarakat juga menjadi kekuatan Indonesia untuk maju, sebagai bangsa yang arif dan saling menghormati menuju bangsa yang dihormati di internasional.

IMG 20221223 WA0015

Imam Mudofar, S.Hum

 

Oleh: Imam Mudofar, S. Hum

Dewan Instruktur GP. Ansor Kab. Tasikmalaya, Alumni Golkar Institute Batch 9

 

Editor:Raja H. Napitupulu

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life