Home » Malaysia Ajak Boikot Ekspor CPO ke Eropa Karena UU Bebas Deforestasi, Perlukah Indonesia Kebakaran Jenggot?

Malaysia Ajak Boikot Ekspor CPO ke Eropa Karena UU Bebas Deforestasi, Perlukah Indonesia Kebakaran Jenggot?

by Erna Sari Ulina Girsang
4 minutes read
Tandan Buah Segar Sawit. Foto: dok

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

Malaysia mengecam langkah Uni Eropa menerbitkan UU tentang Rantai Pasokan Bebas Deforestasi untuk minyak kelapa sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet, serta produk turunannya. Pedagang harus membuktikan ketujuh komoditas ini diproduksi dari lahan yang tidak mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020.

Tanggal 16 Desember lalu, Parlemen dan Dewan Eropa menerbitkan Undang Undang tentang Rantai Pasokan Bebas Deforestasi. Undang Undang ini disambut baik oleh Komisi Eropa dan disebut sebagai Kesepakatan Hijau (Green Deal).

Setelah disahkan, operator dan pedagang memiliki waktu 18 bulan untuk mempelajari dan melakukan persiapan sebelum peraturan baru diimplementasikan. Uni Eropa memberikan waktu lebih lama kepada Usaha Mikro dan Kecil untuk beradaptasi.

“Kebijakan ini membantu UE dan negara-negara mitra menghentikan deforestasi, sekaligus memberi perhatian khusus pada situasi komunitas lokal dan masyarakat adat. Idenya datang sebelum tonggak Konferensi Keanekaragaman Hayati (Conference on Biodiversity/COP15) dimulai”, tulis Komisi Eropa dalam situs resminya.

Pada saat undang undang ini berlaku, perusahaan harus melakukan uji tuntas jika ingin produknya masuk ke pasar UE. Ada tujuh komoditas dan turunannya yang masuk dalam Undang Undang tentang Rantai Pasokan Bebas Deforestasi.

Ketujuh komoditas itu adalah minyak kelapa sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet serta produk turunannya, seperti daging sapi, furnitur atau cokelat. Alasan pemilihan produk ini adalah karena dianggap sebagai pendorong utama deforestasi akibat ekspansi pertanian.

Operator dan pedagang harus membuktikan bahwa produk mereka bebas deforestasi atau diproduksi di lahan yang tidak mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020. Produksi harus legal alias mematuhi semua undang-undang relevan yang berlaku di negara produksi.

Adapun latar belakang diterbitkannya Undang Undang tentang Rantai Pasokan Bebas Deforestasi ini adalah karena deforestasi dan degradasi hutan merupakan pendorong penting perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) memperkirakan 420 juta ha hutan, area yang lebih luas dari Uni Eropa, hilang akibat deforestasi antara tahun 1990 dan 2020. FAO memperkirakan dunia kehilangan sekitar 178 juta ha tutupan hutan dalam periode yang sama. Luasnya tiga kali lipat dari Perancis.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperkirakan 23% dari total emisi gas rumah kaca antropogenik (2007-2016) berasal dari pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Sekitar 11% dari total emisi berasal dari kehutanan.

Respons Malaysia

Kebijakan ini mendapat kecaman dari Pemerintah Malaysia. Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Fadillah Yusof, mengatakan pihaknya akan menghentikan ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) ke Uni Eropa.

Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar Tahunan bertajuk “Palm Oil Economic Review and Outlook”, di Putrajaya, Malaysia, Kamis (12/1/2023) dan dikutip dari sejumlah media Malaysia, antara lain Malaymail dan Bernama.

Pada kesempatan itu, Fadillah Yusof juga mengatakan rencananya untuk segera membahas masalah ini dengan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia dan komoditas pertanian lain yang juga masuk dalam UU tentang Rantai Pasokan Bebas Deforestasi.

Dia mengatakan Indonesia dan Malaysia harus dapat bekerja sama untuk menunjukkan bahwa produksi barang spesifik mereka tidak merusak hutan. Bahkan, dia mengatakan jika diperlukan akan melibatkan ahli dari luar negeri untuk melawan tuduhan ini.

“Atau pilihannya adalah kita hentikan saja ekspor ke Eropa, fokus saja ke negara lain jika mereka (UE) mempersulit kita untuk mengekspor ke mereka,” tegasnya (Malaymail, Kamis 12 Januari 2023).

Data Kementerian Pertanian Amerika Serikat, seperti dilansir dari Index Mundi menunjukkan, Indonesia diperkirakan memproduksi CPO sebanyak 46,5 juta Metrik Ton (MT) tahun 2022. Angka ini lebih dari separuh total produksi CPO dunia.

Diurutan kedua hingga posisi 10 besar ditempati oleh Malaysia denga total produksi sebanyak 19,8 juta MT, disusul Thailand 3,26 juta MT, Kolombia 1,83 juta MT, Nigeria 1,4 juta MT, Guatemala 910 ribu MT, Papua Nugini 650 ribu MT, Honduras 600 ribu MT, Pantai Gading 600 ribu MT dan Brasil dengan produksi 570 ribu MT.

Baca Juga  Asal Punya Kantor Resmi, Tiktok Shop Diperbolehkan di Indonesia

Sejalan Dengan Komitmen Indonesia

Dari dalam negeri, para aktivis lingkungan menilai Indonesia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan kebijakan ini dan merespons dengan cara yang berlebihan, seperti kebakaran jenggot, karena mengatasi deforestasi pada dasarnya sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional, mengatakan UU Uni Eropa ini harus menjadi momentum bagi Indonesia berbenah dalam memperbaiki komoditas-komoditas yang selama ini masih berisiko bagi hutan.

“UU ini langkah progresif guna memastikan keterbukaan informasi produk yang masuk ke Uni Eropa. Produsen akan diminta memperlihatkan rantai pasok dan geolokasi dari produk yang mereka hasilkan,” jelasnya. (Mogabay, Kamis 15 Desember 2022)

Hal senada disampaikan Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia. Dalam situs resminya, Syahrul mengatakan UU Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa adalam implementasi komitmen Eropa untuk memitigasi dampak perubahan iklim.

Indonesia juga memiliki komitmen yang sama, antara lain melalui kebijakan moratorium hutan dan target forest and other land uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) tahun 2030.

Apalagi, dalam Undang Undang tentang Rantai Pasokan Bebas Deforestasi, perusahaan dan pelaku usaha ketujuh komoditas yang diuji, cukup membuktikan bahwa sudah tidak ada deforestasi di konsesi mereka setelah tanggal 31 Desember 2020.

“Regulasi anti deforestasi Uni Eropa tersebut juga bisa membantu petani sawit, khususnya petani swadaya yang telah menerapkan praktik sawit berkelanjutan. Keberadaan petani bisa diakui, baik secara hukum maupun dalam rantai pasok, dengan adanya prasyarat ketertelusuran atau traceability,” jelasnya.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan para aktivis lingkungan, Ekonom Senior Bayu Krisnamurthi juga mengatakan UU tentang Rantai Pasokan Bebas Deforestasi adalah sinyal semakin protektifnya Uni Eropa terhadap produk impor yang masuk ke kawasan itu.

“Bagi Indonesia seharusnya ini tidak menjadi masalah mengingat persoalan deforestasi sudah diatasi melalui moratorium pembukaan kebun sawit baru dari hutan,” jelasnya, dalam Program Squawk Box, CNBC Indonesia (Selasa, 20/12/2022).

Bayu yang menjabat sebagai Wakil Menteri Pertanian (2009–2021) dan Wakil Perdagangan (2011–2014), mengatakan masa penelurusan deforestasi tidak sepanjang masa atau sejak 100 tahun lalu. Namun, setelah tanggal 31 Desember 2020.  Sedangkan, Indonesia telah melakukan moratorium pembukaan hutan untuk kebun sejak tahun 2011.

Data Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, deforestasi turun sebesar 75,03 persen selama tahun 2019 hingga 2020 menjadi 115,46 ribu hektare. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018 hingga 2019 yang mencapai 462,46 ribu hektare.

Di sisi lain, jika Indonesia memilih frontal seperti Malaysia dalam melawan Uni Eropa, tentu saja bisa dilakukan. Betapa tidak, Uni Eropa hanya menyerap sekitar 10 persen dari CPO Indonesia. Jika Eropa rewel maka Indonesia masih memiliki 90 persen pasar lain.

Namun, demikian Undang Undang UE ini memberikan sinyal kuat ke seluruh dunia bahwa deforestasi adalah masalah serius di berbagai negara. Sehingga, Indonesia dan produsen tujuh komoditas yang masuk dalam Kesepakatan Hijau harus membahasnya secara diplomasi, terutama menyangkut teknis pelaksanaannya. Eropa tidak bisa memutuskan secara sepihak.

Dengan demikian, tampaknya Indonesia tidak perlu khawatir berlebihan dengan Undang Undang ini. Apalagi, Indonesia juga ingin menerampak sustainable palm oil. Bukankah Indonesia ingin memasok sawit yang berkelanjutan?

Email Penulis: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life