Home » Mari Mengenal Apa Itu Cancel Culture

Mari Mengenal Apa Itu Cancel Culture

Cancel culture berasal dari istilah slang yang relatif tidak jelas "cancel", mengacu pada ungkapan putus dengan seseorang (lagu 1980-an)

by Lyta Permatasari
4 minutes read
Ilustrasi Cancel Culture. FOTO/iStockphoto

ESENSI.TV - JAKARTA

Ungkapan “cancel culture” berasal dari istilah slang yang relatif tidak jelas “cancel”, mengacu pada ungkapan putus dengan seseorang, yang digunakan dalam lagu tahun 1980-an.

Istilah ini kemudian dirujuk dalam film dan televisi dan kemudian berkembang serta mendapatkan daya tarik di media sosial. Selama beberapa tahun terakhir, cancel culture telah menjadi gagasan yang acap kali diperdepatkan dalam wacana politik.

Apa Itu Cancel Culture?

Ada banyak perdebatan tentang apa artinya, termasuk apakah itu cara untuk meminta pertanggungjawaban orang, taktik untuk menghukum orang lain secara tidak adil, atau campuran keduanya. Bahkan beberapa berpendapat bahwa cancel culture itu tidak ada.

Cancel culture terdapat dalam konsep Habermas tentang ruang publik yang menganggap wacana publik adalah ranah elit (1962), demikian dalam Jurnal Communication and the Public.

Cancel culture berasal dari banyak bentuk wacana publik online dan offline di ruang publik. Cancel culture mengacu pada penolakan individu melalui pengaduan online yang mengakibatkan pengucilan dan mempermalukan orang. Elemen aktif cancel culture sebagai peristiwa adalah di mana organisasi menyensor, memecat, atau mendorong selebritas atau rakyat jelata untuk mengundurkan diri setelah melanggar norma sosial, adat istiadat, dan hal tabu, demikian sebagaimana dilansir Jurnal First Monday, Volume 26, Number 7-5 Juli 2021.

Cancel culture adalah ekspresi hak pilihan, dalam hal ini adalah pilihan untuk menarik perhatian dari seseorang atau sesuatu tindakan atau ucapan ofensif. Menarik perhatian maksudnya adalah tindakan yang tidak lagi menganggap kehadiran dari seseorang atau sesuatu.

Untuk lebih memahami bagaimana pandangan publik tentang konsep cancel culuture, Pew Research Center meminta orang Amerika pada September 2020 untuk berbagi pandangan dengan kata-kata mereka sendiri tentang cancel culture. Hasilnya, survei tersebut menemukan bahwa pandangan masyarakat sangat terpecah, termasuk mengenai arti dari frasa tersebut.

Tanggapan yang paling umum sejauh ini berpusat di sekitar akuntabilitas. Sekitar 49% dari mereka yang akrab dengan istilah itu mengatakan dengan menggambarkan cancel culture sebagai tindakan yang dilakukan orang untuk meminta pertanggungjawaban orang lain.

Sebagian kecil yang menyebutkan akuntabilitas dalam definisi mereka juga membahas bagaimana tindakan ini salah tempat, tidak efektif atau sangat kejam. Sekitar 14% orang dewasa yang telah mendengar setidaknya cukup banyak tentang cancel culture menggambarkannya sebagai bentuk penyensoran, seperti pembatasan kebebasan berbicara atau penghapusan sejarah.

Ini juga serupa dengan 12% lainnya yang mencirikan cancel culture sebagai serangan kejam yang digunakan untuk menyakiti orang lain. Lima deskripsi berbeda lainnya dari istilah cancel culture juga muncul dalam tanggapan orang Amerika: orang membatalkan siapa pun yang tidak mereka setujui, konsekuensi bagi mereka yang telah ditantang, serangan terhadap nilai-nilai tradisional Amerika, cara untuk menyebut isu-isu seperti rasisme atau seksisme, atau gambaran yang salah tentang tindakan orang.

Sekitar satu dari sepuluh atau kurang menggambarkan frasa dalam setiap cara ini. Ada beberapa perbedaan partisan dan ideologis yang menonjol dalam apa yang diwakili oleh istilah cancel culture.

Sekitar 36% dari Partai Republik konservatif yang pernah mendengar istilah itu menggambarkannya sebagai tindakan yang diambil untuk meminta pertanggungjawaban orang, dibandingkan dengan kira-kira setengah atau lebih dari Partai Republik moderat atau liberal (51%), Demokrat konservatif atau moderat (54%) dan Demokrat liberal (59%). Partai Republik Konservatif yang pernah mendengar istilah itu lebih mungkin dibandingkan kelompok partisan dan ideologis lainnya untuk melihat cancel culture sebagai bentuk penyensoran.

Sekitar seperempat dari Partai Republik konservatif yang akrab dengan istilah tersebut (26%) menggambarkannya sebagai penyensoran, dibandingkan dengan 15% dari Partai Republik moderat atau liberal dan kira-kira satu dari sepuluh atau lebih sedikit Demokrat, terlepas dari ideologinya.

Partai Republik Konservatif yang menyadari frasa ini juga lebih mungkin daripada kelompok partisan dan ideologis lainnya untuk mendefinisikan cancel culture sebagai cara bagi orang untuk membatalkan siapa pun yang tidak mereka setujui (15%) atau sebagai serangan terhadap masyarakat tradisional Amerika (13%).

Asal mula cancel culture di sosial media

Asal mula cancel culture muncul tahun 2014 dalam kaitannnya dengan gerakan #MeToo, yakni protes untuk korban pelecehan seksual. Pada tahun tersebut, seorang aktivis bernama Suey Park menunjukkan tweet rasis mengenai orang Asia dari akun Twitter resmi The Colbert Report melalui hashtag #CancelRobert.

Perbuatan tersebut kemudian menimbulkan kemarahan publik kepada Stephen Colbert. Kemudian pada tahun 2015, konsep cancel culture ini menyebar di media sosial.

Baca Juga  Rugi Dong! Ini Dia 4 Alasan Skincare Kamu Ga Ngefek

Pada tahun 2017, cancel culture kembali mencuat karena terungkapnya kasus pelecehan seksual Harvei Weinstein. Mereka para tokoh publik maupun selebritas yang terlibat kemudian ramai-ramai ditolak oleh masyarakat, mulai dari dilarang untuk tampil di hadapan publik sampai menolak karya-karyanya.

Negara dengan cancel culture terkuat

Cancel culture di industri hiburan Korea Selatan kerap terjadi. Publik cukup sensitif terhadap kabar-kabar terkait skandal kalangan selebritas.

Salah satu yang terkena cancel culture, yang secara cair didefinisikan sebagai boikot terhadap pihak tertentu yang dianggap telah melakukan hal-hal melenceng dari norma, adalah Kim Seon-ho, salah satu pemeran serial Hometown Cha-Cha-Cha.

Semua berawal dari isu yang diembuskan mantan pacar Kim yang memakai nama samaran “netizen A”. Ia mengatakan dipaksa melakukan aborsi saat masih berstatus pacar padahal ingin meneruskan kehamilan hingga melahirkan. Kim awalnya mendukung keinginan tersebut, namun tiba-tiba semua berubah dengan alasan finansial. Mantannya mendeskripsikan perubahan Kim seperti “orang gila.”

Bisa ditebak, setelah itu publik berbondong-bondong melakukan cancel kepada Kim. Kim, yang awalnya berperan penting di salah satu acara reality show 2 Days & 1 Night, lantas menghilang. Bahkan ia juga batal tampil dalam film 2 O’clock Date dan Dog Days karena kabarnya mengundurkan diri.

Merek yang menjadikan Kim sebagai ikon, seperti Domino’s Pizza dan Canon, juga menarik diri. Wajahnya tidak lagi muncul di media sosial dua jenama tersebut. Situasi berubah ketika Dispatch, salah satu majalah daring yang sering kali mengungkap kehidupan pribadi selebritas, mengungkap temuan-temuannya.

Dari salah satu kesaksian narasumber, diketahui bahwa sebenarnya Kim masih mendukung kelanjutan hubungan mereka, tetapi justru mantan pacarnya sering selingkuh dan protes masalah keuangan. Identitas mantan pacar Kim pun terbongkar. Canon segera memajang lagi foto-foto Kim.

Muncul juga petisi daring yang mendukung Kim tetap tampil dalam 2 Days & 1 Night. Kim, seperti dicatat oleh SCMP, adalah contoh kasus bagaimana artis akhirnya bisa “melawan cancel–dan menang.” Dari kasus Kim semakin banyak yang menilai cancel culture tidak melulu baik.

Namun tetap saja cancel adalah senjata orang-orang yang hanya punya suara tanpa kekuatan finansial dan politik untuk membuktikan kebenaran mereka.

Meski apa yang disebut dengan cancel culture baru ramai di Korsel sekitar 2017, upaya serupa pernah dilakukan jauh sebelum itu, dalam kasus mengerikan yang dikenal dengan nama “Miryang gang rape”. Ini adalah satu contoh bagaimana cancel bisa jadi satu-satunya upaya yang berguna untuk mendapatkan keadilan.

Pengaruh atau dampak cancel culture

Ada bermacam macam dampak yang dirasakan dari budaya ini, beberapa dampak cancel culture adalah pembatalan kontrak kerja sambai berakibat pada kondisi mental seseorang.

Meski terkesan sepele karena ditujukan pada seseorang saja, tetapi cancel culture juga bisa berkembang menjadi budaya yang toxic. Misalnya, saat seseorang kemudian main hakim sendiri di media sosial hingga mengarah pada bullying. 

Mereka yang mengalami cancel culture akan merasa dirinya tidak berguna. Jika sampai berlarut-larut, tindakan bunuh diri bukan tidak mungkin bisa terjadi.

Meski demikian, cancel culture juga bisa menjadi sarana untuk korban supaya bisa menyadari kesalahannya. Dengan begitu, mereka akan mengambil langkah yang tepat supaya tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari.

Bukan hanya bagi korban dan pelaku saja, cancel culture juga bisa membawa dampak pada pengamatnya. Sebab, orang yang menyaksikan fenomena tersebut bisa mengalami cemas dan khawatir akan ditinggalkan oleh orang lain.

Namun, kamu bisa mencegah dampaknya dengan cara membiasakan diri untuk berpikir dua kali sebelum mengunggah konten di media sosial, membiasakan kritik yang wajar, dan melakukan detoks media sosial.

 

Editor: Farahdama A.P/Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life