Home » Mengapa Pekerja Jakarta Dianggap Materialistis?

Mengapa Pekerja Jakarta Dianggap Materialistis?

by Lyta Permatasari
4 minutes read
matrealisme matrealistis

ESENSI.TV - JAKARTA

Apa yang menjadi tujuan hidup bagi seseorang mempengaruhi pencapaiannya atas kebahagiaan. Tidak semua tujuan akan membawa pada kebaikan, bahkan beberapa di antara tujuan-tujuan tersebut ada yang berdampak negatif bagi kesejahteraan hidup.

Hal tersebut akan terbukti jika kita memperhatikan kondisi masyarakat kita dan juga cerita-cerita yang beredar di ruang publik tentang orang-orang yang hidupnya hidupnya penuh masalah karena mengejar tujuan-tujuan duniawi, seperti harta, ketenaran, dan penampilan.

Fenomena semacam yang tersebut dinamakan dengan materialisme, yaitu pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indera
(Materialisme, n. d.).

Sebagai suatu masalah kehidupan, materialisme lama menjadi fokus bahasan para filsuf dan agamawan, dan baru di abad modern ini menjadi perhatian psikologi dan diteliti secara ilmiah.

Materialisme adalah masalah lintas bidang kehidupan sehingga ia pun dihadapi bersama-sama oleh para ilmuwan dari berbagai bidang, seperti sosial, ekonomi, lingkungan, dan pendidikan.

Karena ia punya dampak tertentu pada kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, materialisme termasuk kecenderungan manusia yang berusaha dicari penyelesaiannya dalam psikologi positif. Studi tentang materialisme di dunia Barat telah berlangsung sekitar 30 tahun lamanya dan masih sedikit yang bisa diketahui tentang apa anteseden dan konsekuensi dari materialisme di Asia, terutama Indonesia.

Memahami materialisme adalah penting dalam rangka memelihara sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sedikit masalah masyarakat yang berakar pada orientasi hidup materialistis, seperti korupsi dan konflik- konflik sosial. Bahkan arah pembangunan Indonesia pun dikritik karena orientasinya yang cenderung materialistis, lebih pada ekonomi/ material, ketimbang jiwa dan raga manusia Indonesia.

Fenomena materialisme

Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bagaimana nilai-nilai di negara ini berubah sepanjang hidup. Penelitian dilakukan pada hampir seperempat juta mahasiswa dari tahun 1965 hingga 2005 dan menemukan bahwa nilai material meningkat untuk sementara penurunan mental.

Generasi muda saat ini memandang kesuksesan finansial sebagai sesuatu yang penting hal yang sangat penting dan esensial, selain nilai penting membangun falsafah hidup, menjadi ahli di bidangnya, membantu orang lain yang membutuhkan dan memulai sebuah keluarga (Dey, Astin dan Korn, dalam Myers, 2008).

Gejala serupa sepertinya juga terjadi di Indonesia. Meski belum ada kajian seperti itu, aspirasi finansial yang semakin besar bisa dirasakan.

Berdasarkan pengamatan penulis terhadap lingkungan hidup pendidikan, banyak siswa yang termotivasi oleh mentalitas bahwa yang terpenting adalah tujuan di dunia sekolah pascasarjana adalah pekerjaan dan kesuksesan, dengan ukuran utama adalah kesuksesan finansial, karena sekolah pascasarjana adalah pekerjaan.

Kualitas sekolah diukur dari seberapa cepat lulusan berintegrasi ke dalam dunia kerja dan sifat pekerjaan mereka. Suatu ketika penulis melihat mengiklankan sekolah yang menarik lulusan yang akan cepat mendapatkan pekerjaan. Melihat fenomena ini dengan pandangan kritis, sebenarnya tidak ada yang salah dengan aspirasi finansial.

Namun permasalahan muncul ketika aspirasi-aspirasi tersebut menjadi hal yang paling penting sehingga diabaikan. Hal-hal lain lebih penting.

Dari sudut pandang pendidikan karakter, generasi muda harus dibimbing untuk mengidentifikasi tujuan hidup dan meyakini arah moral, seperti pengembangan diri, akal sehat, menjadi bagian dari komunitas, membantu orang lain, menemukan makna dalam hidup dan membangun identitas moral dan integritas, adalah tujuan utamanya dalam hidup.

Oleh karena itu kecenderungannya Materialisme dapat dinilai sebagai masalah moralitas dan karakter (Nucci & Narvaez, 2008).

Permasalahan yang berakar pada materialisme bukanlah hal yang jarang terjadi dan berdampak pada berbagai bidang.
kehidupan. Berita harian memberitakan pejabat negara dan anggota parlemen yang melakukan praktik korupsi meski gaji mereka sangat tinggi. Belum lama ini, masyarakat Indonesia dicemaskan Kasus anak dan mertua menggugat ibunya sebesar VND 1 miliar akibat sengketa tanah (Ramadhan, 2014).

Baca Juga  6 Cara Sederhana untuk Menjaga Kesehatan dengan Budget Minim

Hal ini menunjukkan betapa keuntungan materi mengikis nilai moral kekeluargaan. Dalam dunia pendidikan, meluasnya kritik terhadap kebijakan sertifikasi telah menimbulkan permasalahan Pekerjaan guru adalah uang dan merusak moral dan kepribadian mereka (Susila, 2014).

Uang dan harta benda mempunyai nilai istimewa karena menjalankan berbagai fungsi simbolis dan instrumental bagi pemiliknya. Punya uang, bisa memenuhi banyak kebutuhan berbeda, dijamin keamanan dan bahkan harga diri dapat diperoleh melalui perbandingan sosial. Rakyat selalu menempati tempat khusus dalam masyarakat dan masyarakat selalu ingin mengkampanyekan status sosial yang lebih tinggi. Uang juga menjadi tolak ukur kesuksesan dan dianggap sebagai kunci kebahagiaan.

Orang takut tidak punya uang dan menghasilkan uang dan kekayaan adalah pusat hidupnya. Penjelasan di atas merupakan gambaran singkat mengenai orientasi materialistis pada tingkat individu.

Secara tidak langsung materialisme tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial ekonomi yang ada saat ini sedang berlangsung. Materialisme erat kaitannya dengan konsumerisme (Dittmar, 2008), yakni identik dengan perilaku konsumen atau pembelian suatu barang.

Materialisme tidak hanya nyata nilai-nilai yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap harta benda, tetapi juga diungkapkan dalam perilaku yang kompleks. Di sini juga, materialisme merugikan dengan cara menghasut masalah ekonomi dan lingkungan karena keinginan mengkonsumsi memerlukan peningkatan output berarti ekstraksi sumber daya.

Materialisme juga ditandai dengan gaya hidup yang mewah hingga mewah, dimana kesederhanaan tidak ada tempatnya. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi (1869-1948):
“Dunia mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tidak cukup untuk keserakahan semua orang”. Inilah sebabnya materialisme dipandang sebagai ancaman terhadap keberlangsungan kehidupan manusia di masa depan (Myers, 2008).

Diakui oleh Myers (2008) tentang masalah kemanusiaan sebagai dampak materialisme di Amerika Serikat dan ini menjadi peringatan bagi negara-negara lain: “… we have big houses and broken homes, high incomes and low moral, more comfortable cars and more road rages. We excel at making a living but often fail at making a life. We celebrate out
prosperity but yearn for purpose. We cherish our freedoms but long for connection. In an age of plenty, we feel spiritual hunger”

(… kami punya rumah yang besar dan keluarga yang hancur, pendapatan yang tinggi dan moral yang rendah, mobil yang lebih nyaman dan lebih banyak kekerasan jalanan. Kami unggul dalam mencari penghidupan tetapi gagal membangun kehidupan. Kami merayakan kemakmuran tetapi kehilangan tujuan. Kami menjunjung kebebasan tetapi merindukan hubungan.)

Di zaman yang serba berkelimpahan, kami merasakan kelaparan spiritual) (Myers, 2008).

Faktor yang berperan dan konsekuensi materialisme

Orientasi materialisme pun bukan tanpa sebab. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi orientasi materialistis seseorang.

Ada berbagai pengaruh eksternal
maupun internal yang tidak sehat, yang mengaktivasi materialisme pada diri seseorang, seperti:

  • Faktor psikologis berupa harga diri yang rendah (Park & John, 2011) dan kecemasan akan kematian
    dan rasa tidak aman (Kasser & Sheldon, 2000; Rindfleisch & Burroughs, 2004)
  • Faktor keluarga berupa pengasuhan keluarga yang tidak suportif dalam membangun self-esteem yang
    positif, orangtua yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial (Chaplin & John,
    2007, 2010; Kasser dkk, 1995) dan stres dan konflik dalam keluarga (Flouri, 2007)
  • Faktor pergualan berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan
    sosial dengan teman atau figur di media (Banerjee & Dittmar, 2008; Chan & Prendergast, 2007)
  • Faktor lingkungan berupa lingkungan yang menggoda dan media yang mendorong konsumerisme (Bauer
    dkk, 2012; Chan, Zhang, & Wang, 2006)
  • Faktor religius berupa rendahnya religiositas dan kebersyukuran (Polak & McCullough, 2006; Rakrachakarn dkk, 2013)

 

 

Editor: Farahdama A.P/Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life