Home » Merasa Dirugikan, Seorang WNI Minta MK Batalkan Larangan Golput di Pemilu

Merasa Dirugikan, Seorang WNI Minta MK Batalkan Larangan Golput di Pemilu

by Erna Sari Ulina Girsang
3 minutes read
Kantor MK, Jakarta. Foto: MK

ESENSI.TV - JAKARTA

Seorang warga negara Indonesia bernama Jonatan Ferdy mengajukan gugatan terhadap Undang Undang Pemilihan Umum yang melarang masyarakat tidak menggunakan hak suara alias golput.

Gugatan ini telah masuk dan telah diterima Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah diregistrasi dengan Nomor 142/PUU-XXI/2023.

MK juga menggelar sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan pada Kamis (9/11/2023) dengan dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Dalam persidangan, Jonatan yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum, mengatakan pemidanaan terhadap tindakan mendaklarasikan atau mengajak warga negara untuk menjadi golongan putih (golput) atau tidak menggunakan hak pilihnya tidak lagi relevan.

Dia menilai pasal tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

“Dengan dilarangnya mendeklarasikan atau mengajak warga masyarakat golput pada saat pemungutan suara sudah kurang relevan lagi. Sebab, hal ini justru merusak citra demokrasi negara hukum yang selama ini telah dibangun”.

“Di samping itu, dilihat dari sisi masyarakat justru mematikan sikap demokrasi dan penyampaian informasi bebas di muka umum,” terangnya di dalam persidangan, seperti dilansir dari keterangan MK, dikutip Sabtu (11/11/2023).

Selanjutnya, dalam salah satu poin alasan permohonan, Pemohon menjelaskan bahwa banyak orang yang bersikap apatis terhadap politik tidak lagi peduli atau mencari tahu makna golongan putih serta risiko yang diakibatkannya karena keberlakuan tersebut.

Ajakan Golput

Pemohon menekankan bahwa pernyataan atau ajakan untuk golput merupakan hak setiap warga negara, karena setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pikirannya, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Jonatan menerangkan, dalam pemberitaan Pemilu di media massa atau media sosial, ternyata tidak membuat semua orang mengetahui tanggal pasti diadakannya Pemilu 2024.

Kemudian pada Pemilihan Umum 2019 yang lalu, hasil survei LSI yang diadakan sebulan sebelum hari pencoblosan menunjukkan mayoritas tidak mengetahui tanggal pasti diadakannya Pemilihan Umum.

Selain itu, Jonatan mendalilkan banyaknya penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya untuk memberikan suara di hari Pemilihan Umum.

Sayangnya, keterbatasan yang dimiliki seringkali menghambat mereka dalam mencoblos. Misalnya tidak ada bantuan untuk pergi menuju ke lokasi TPS dan tidak tersedianya surat suara khusus bagi disabilitas.

Menurutnya, seharusnya penyampaian berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan seharusnya dilindungi sesuai dengan amanah Undang-Unadalah hak setiap warga negara dan bukan kewajiban yang harus dilindungi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baca Juga  MK Putuskan Hasil Uji Materiil Sistem Proporsional Terbuka Hari Ini

Untuk itu, Pemohon berharap agar MK menyatakan bahwa Pasal 515 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama dimaknai sebagaimana yang saat ini tertulis dalam teks UU Pemilu.

Seperti diketahui, larangan untuk tidak memilih alias golongan putih atau golput diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Pasal 515.

Adapun norma pasal a quo berbunyi sebagai berikut; Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Kerugian Konstitusional Harus Jelas

Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Kontitusi Suhartoyo menyarankan pemohon untuk membaca Peraturan MK tentang tata beracara. Selain itu, ia menyebut dalam menguraikan kerugian konstitusional harus jelas.

“Nanti Jonathan bisa melihat putusan-putusan MK. Kemudian untuk legal standing, harus menguraikan anggapan kerugian konstitusionalnya apa”.

“Dalam uraian selanjutnya menguraikan tentang pemohon merupakan anak ketiga dan memiliki dua abang kandung, ini konteksnya apa? Dalam perspektif saudara ada kerugian konstitusional itu”.

“Harus tegas apakah saudara mempunyai hak pilih apakah ini kemudian apakah ini mengganggu hak konstitusional yang lain yang berkaitan sistem kepemiluan. Jadi harus clear dalam menguraikan kerugian konstitusional yang dirugikan,” urai Suhartoyo.

Sementara Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta pemohon untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional pemohon dengan berlakunya norma ini.

“Kalau tidak ada penjelasan anda bisa dianggap tidak memiliki legal standing. Lalu pasal di konstitusi mana yang dijadikan rujukan untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional itu,”terang Saldi.

Kemudian, sambung Saldi, belum terdapat penjelasan yang akurat yang dapat menjelaskan pasal yang diuji ini bertentangan dengan UUD 1945.

“Itu belum ada penjelasan, padahal itu yang akan dinilai nanti oleh Mahkamah bahwa ternyata bertentangan dengan UUD 1945 ternyata tidak. Jadi anda carikan itu mengapa Pasal 515 itu bertentangan dengan konstitusi,” pintanya.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lama diterima oleh Kepaniteraan MK pada Rabu, 22 November 2023 pukul 09.00 WIB.*

Email: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang/Raja H. Napitupulu

#beritaviral
#beritaterkini

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life