Home » Polemik RI Gagal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, Siapa Salah?

Polemik RI Gagal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, Siapa Salah?

by Administrator Esensi
3 minutes read
Jusuf Kalla

ESENSI.TV - JAKARTA

Polemik kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 masih terus bergulir. Berbagai pihak saling menyalahkan dibalik keputusan FIFA mencoret Indonesia, terutama silang sengkarut pernyataan antar pejabat pemerintah.

Kegagalan Indonesia Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 Menurut JK

Silang pendapat tentang ini seperti dikemukakan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, dalam acara ‘Kontroversi’ Metro TV pada Kamis (30/3) yang menilai ada ketidakkompakan pemerintah dalam menyikapi perhelatan akbar ini.

“Karena juga memang aneh. Pemerintah pusat, bapak Presiden mengizinkan. Tapi, Gubernur tidak mengizinkan. Tentu FIFA bingung, yang mana pemerintah Indonesia ini.” jelas JK panggilan akrab Jusuf Kalla.

Penolakan disampaikan Gubernur Bali I Wayan Koster, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Namun, alasan penolakan kedua pejabat tinggi level provinsi itu cukup aneh, yakni menggunakan alasan politis dimana akomodasi terhadap timnas Israel untuk bermain di Piala Dunia U-20 di Indonesia adalah bentuk akomodasi terhadap penjajahan Israel terhadap Palestina.

Para penolak timnas Israel yang berujung dicabutnya Indonesia sebagai tuan rumah oleh FIFA mengacu pada konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam alinea pembukaan tertulis ‘Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan’.

Menurut JK, alasan menggunakan UUD 45 alenia pertama tidak sepenuhnya benar. Sebab pada bagian yang lain  tertulis Indonesia ikut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia.

“Saya ingin mengatakan, UUD itu baca juga ayat lain yang mengatakan Indonesia ikut serta dalam ketertiban dunia dengan kemerdekaan dan perdamaian. Jadi melawan Israel bukan hanya dengan perang. Tetapi dengan cara perundingan, Indonesia bisa ikut dalam kesempatan itu. Jangan ditafsirkan lain.” jelasnya.

Pemikiran JK realistis. Betul bahwa tidak mungkin memisahkan faktor politik dari olahraga khususnya sepakbola, tetapi belum tentu bentuk yang harus dilakukan adalah  penolakan atau mengambil sikap keras atau perang. Hal ini sudah tidak relevan lagi, sebab permusuhan sepertinya tidak akan efektif lagi untuk mendukung Palestina merdeka.

Sepakbola dan Politiknya bagi Sebuah Bangsa

Ada sejumlah kasus yang menunjukkan bagaimana sepakbola bisa berpengaruh secara politik bagi sebuah bangsa. Misalnya, rekonsiliasi di negara Pantai Gading dilanda perang sipil pada 2005. Peperangan bersaudara membuat negara tersebut terbelah. Namun di saat yang sama, timnas Pantai Gading sedang memperebutkan posisi kualifikasi Piala Dunia.

Baca Juga  Inilah Tim Indonesia Maju yang Kibarkan Sang Merah Putih di Istana Merdeka

Akhirnya, Pantai Gading dapat lolos ke Piala Dunia lewat pertandingan yang dramatis. Seluruh timnas dan masyarakat Pantai Gading bergembira. Atas kemenangan ini, dua kubu yang  bertikai bersepakat untuk gencatan senjata.

Untuk itu, seruan JK lebih realistis bahkan daripada seruan Presiden Jokowi yang meminta tidak mencampur adukkan sepakbola dan politik. Hal ini mustahil karena banyak kasus menunjukkan olahraga tidak bisa steril dari politik. Olahraga sepopuler sepak bola tidak akan lepas dari faktor politik.

Negosiasi Kemenpora dengan FIFA

Sementara itu, Muhadjir Effendy, Pelaksana Tugas Menpora mengatakan resonansi terhadap sepak bola di Indonesia sangat besar. Bahkan, situasi ini melibatkan perhatian dari 189 juta penggemar di seluruh Indonesia. Muhadjir mengaku sudah ada proses negosiasi dengan FIFA jauh sebelum ini menjadi isu publik.

“Sebetulnya dengan FIFA kita sudah lama melakukan kontak, jauh sebelum ada surat dari pemerintah provinsi tertentu dan juga sebelum ada eskalasi protes yang sangat tinggi. Kira-kira apa yang bisa kita nego dengan FIFA? Sehingga nanti, jika tim Israel benar-benar hadir di Indonesia, tidak menggoyahkan atau dianggap melanggar kebijakan luar negeri kita. Terutama berkaitan dengan dukungan terhadap Israel dan sikap Indonesia.” ungkap Muhadjir.

Bila pernyataan Muhadjir ini benar, maka patut disayangkan pemerintah justru memilih sikap tidak mengakomodir timnas Israel sebagai langkah untuk mewujudkan perdamaian di Palestina. Mengapa pemerintah yang sejak awal sudah tahu akan penolakan sebagian kecil masyarakat tidak melakukan kampanye untuk akomodasi timnas Israel.

Sebab seperti dikatakan JK, pilihan mengakomodasi timnas Israel juga bentuk dari upaya mencari jalan keluar untuk kemerdekaan Palestina. Pilihan bersahabat dengan Israel lebih masuk akal dari pada sikap bermusuhan selama ini yang terbukti gagal membela Palestina.

Upaya akomodatif terhadap Israel ini sendiri bukan hal baru. Almarhum Gus Dur dan NU adalah salah satu ormas yang setuju untuk melakukan pendekatan bersahabat dengan Israel daripada cara-cara permusuhan. Sebab, bagaimana bisa mengajukan perundingan damai antara Israel-Palestina bila Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan salah satu diantaranya.

Penulis: Maruli Manurung (Pengamat Olahraga dari Universitas Negeri Medan)

Editor: Raja H. Napitupulu/ Nabila Tias Novrianda

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life