Home » Problematika Gizi Buruk dan Stunting di Indonesia

Problematika Gizi Buruk dan Stunting di Indonesia

by Administrator Esensi
2 minutes read
diskominfo

ESENSI.TV - JAKARTA

Problematika gizi buruk dan stunting di Indonesia masih terjadi meski negara ini sudah 77 tahun merdeka. Sebanyak 24 persen anak-anak Indonesia mengalami stunting, yaitu gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan gizi buruk, terserang infeksi yang berulang, maupun stimulasi psikososial yang tidak memadai. Seorang anak didefinisikan sebagai stunting jika tinggi badan menurut usianya lebih dari dua standar deviasi, di bawah ketetapan Standar Pertumbuhan Anak Organisasi Kesehatan Dunia/WHO.

Problematika Gizi Buruk

Angka itu memang turun. Data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019 menyebutkan prevalensi stunting di Indonesia mencapai 27,7%. Artinya, sekitar satu dari empat anak balita di Indonesia mengalami stunting. Angka tersebut masih tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%.

Penyebab stunting ada dua, faktor lingkungan dan genetik. Lingkungan masih dapat diintervensi, sehingga perawakan pendek atau stunting dapat diatasi. Sementara untuk penyebab genetik, masih belum ada solusi. Namun, sebagian besar stunting di Indonesia disebabkan oleh kekurangan gizi. Dampak stunting sangat buruk, sebab menyerang masa usia anak-anak di bawah lima tahun atau masa-masa keemasan (golden age) bagi pertumbuhan anak.

Pada masa golden age, anak-anak akan menyerap informasi dari lingkungan sekitarnya dan akan terekam lama dalam memorinya. Stunting akan menentukan pola pikir dan perilakunya anak dimasa yang akan datang. Apabila pemberian gizi dan stimulus komunikasi dan karakter tersebut tidak cukup, maka anak tersebut bisa mengalami perlambatan pertumbuhan atau stunting, berat badan, tinggi badan, dan kemampuan motorik dan sensoriknya lebih rendah dari anak-anak lain pada usianya.

Strategi Pemerintah untuk Mengatasi Stunting di Indonesia

Menurut data Kemenkes, ada tujuh provinsi yang memiliki angka kejadian atau prevalensi stunting tertinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Aceh. Ada pula 5 provinsi dengan jumlah balita stunting terbanyak yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, serta Banten.

Baca Juga  Indonesia-Malaysia Tingkatkan Kerja Sama Sektor Transportasi

Salah satu strategi mengatasi stunting yang dilakukan pemerintah adalah melakukan integrasi lintas sektor untuk memenuhi kebutuhan pangan makanan pendamping air susu ibu atau MP-ASI. Berdasarkan strategi nasional, percepatan penurunan stunting yang tercantum dalam Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 72 tahun 2021, Kemenkes memiliki target intervensi spesifik, yaitu menurunkan angka stunting menjadi 14 persen di tahun 2024. Target itu rencananya akan dicapai dengan berbagai program, yaitu:

Target Pemerintah

1. Meningkatkan pengetahuan kesehatan ibu dan anak. Meningkatkan literasi kepada ibu hamil dan keluarga balita, dengan memberikan buku KIA (kesehatan ibu dan anak) sebagai komunikasi antara kelompok sasaran dengan fasilitas kesehatan.
2. Mengakses pelayanan kesehatan berkualitas sesuai siklus hidup Kemenkes, juga akan melakukan revitalisasi UKS yang bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan Kementerian Agama (Kemenag) untuk meningkatkan literasi terkait kesehatan reproduksi, serta berbagai permasalahan yang terjadi pada anak usia sekolah hingga remaja.
3. Melibatkan peran keluarga dalam menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Pemenuhan nutrisi dan menstimulasi pertumbuhan serta perkembangan anak juga menjadi fokus pemerintah.

Kendala yang dihadapi

Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) ada sejumlah kendala dalam percepatan pencegahan stunting. Diantaranya:
1. Belum efektifnya program-program pencegahan stunting.
2. Belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan sensitif di semua tingkatan terkait dengan perencanaan dan penganggaran, penyelenggaraan, serta pemantauan dan evaluasi.
3. Belum efektif dan efisiennya pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya dan sumber dana.
4. Keterbatasan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan program.
5. Masih minimnya advokasi, kampanye, dan diseminasi terkait stunting, dan berbagai upaya pencegahannya.

 

Dr. Upi Isabella Rea (Pemerhati Pendidikan dan Sosial Anak)

Editor: Raja Napitupulu

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life