Home » Review Buku Padang Ilalang di Belakang Rumah, Kenangan Manis di Masa Kecil

Review Buku Padang Ilalang di Belakang Rumah, Kenangan Manis di Masa Kecil

by Maria Julie simbolon
2 minutes read
Padang Ilalang di Belakang Rumah

ESENSI.TV - MEDAN

Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin biasa dikenal dengan nama pena Nh. Dini. Dini lahir di Jawa Tengah, 29 Februari 1936. Ibu dari Pierre Coffin dan Marie-Claire Lintang ini wafat di Semarang, 4 Desember 2018 karena kecelakaan kendaraan.

Penulis angkatan 66 ini mulai menulis sejak menjadi murid di SMP. Karya pertamanya terbit di saat perempuan kelahiran Semarang ini masih duduk di bangku SMA. Selain menjadi penulis, Nh. Dini pernah berprofesi sebagai pramugari. Ketika kecil dia bercita-cita menjadi masinis. Mungkin saja cita-cita ini terbersit karena ayahnya juga karyawan di perusahaan kereta api.

Perempuan berdarah Bugis ini dikenal sebagai sastrawan, novelis dan feminis. Karya kenangan Dini tentang masa kecilnya banyak dipakai pelajar Indonesia hingga kini sebagai referensi karya sastra populer dan terbaik. Banyak kritikus yang menggambarkan karya Nh. Dini karena mampu menerjemahkan ide-ide feminisme di Indonesia.

Novel setebal 101 halaman ini diterbitkan Gramedia pertama sekali di tahun 1979 sebagai lanjutan dari kisah kenangan Sebuah Lorong di Kotaku. Sampai akhir hayatnya di tahun 2018, perempuan penyuka batik ini berhasil memenangkan banyak penghargaan dan melahirkan 40 karya, antara lain Pada Sebuah Kapal, La Barka, Pertemuan Dua Hati, Namaku Hiroko, Hati yang Damai, Orang-Orang Trans, Gunung Ungaran, seri cerita kenangan dan lain sebagainya.

Warna sampul buku ini oranye terang. Ada gambar perempuan dengan rumah joglo dan matahari menjadi latar belakangnya. Bukunya tipis, cocok sekali menjadi teman baca di akhir pekan dan liburmu. Padang Ilalang di Belakang Rumahku bercerita tentang kenangan Nh. Dini tentang kondisi awal Indonesia setelah ditinggalkan Belanda dan di bawah pendudukan Jepang.

Sosok Dini kecil yang ceria dan penurut mewarnai bagian awal buku. Kisah masa kecil Nh. Dini akan membuat pembaca terus penasaran bagaimana kelanjutan kisah keluarga Dini dengan keempat saudaranya, penasaran dengan kelanjutan nasib kue kering buatan Ibu yang sering dicomot Teguh, saudara Dini, diam-diam. Dini berkisah bagaimana pohon belimbing di depan rumah dan hewan-hewan peliharaannya di masa kecil membuatnya terhibur di tengah kemelut perang yang sedang mencekam.

Baca Juga  Ini 4 Jenis Musik yang Digemari Gen Z, Kamu Pilih yang Mana?

Dini berkisah tentang kesenangannya mengikuti ibu yang berjalan ke luar rumah. Dini bercerita tentang ayahnya yang gemar menonton wayang orang. Ayah yang hangat, baik, tegas, dan bertanggungjawab membuat Dini merasa hidupnya akan baik-baik saja di tengah perang yang sedang menggelora.

Membaca kisah ini membuat pembaca seolah ikut hidup di zaman perang, ikut khawatir mendengar kabar tetangga yang gugur di sungai dan sumur. Suara sirene dan dengungan radio mengumandangkan keadaan terkini pun terus menerus diceritakan. Ketakutan Dini kecil ketika bersembunyi dari serdadu Jepang. Bahkan sebatang lilin yang menyala bisa menjadi penentu hidup mati di zaman itu.

“Pertempuran berjalan selama lima hari penuh. Selama itu kami tidak keluar dari rumah. Bahkan membuka pintu ke kebun pun tidak. Untuk ke kakus yang terletak di bangunan belakang, kami menunggu redanya suara tembakan yang sering kedengaran gaduh dan dekat sekali. Beberapa kali kami bahkan merasa menjadi sasaran pertempuran,” tulis Dini tentang keadaan zaman itu.

Dini mengisahkan bagaimana sosok ibu yang jujur, penyayang dan penuh kasih melindungi Dini dan saudara-saudaranya yang lain. Heratih yang baik tapi dipenuhi khawatir karena keadaan perang di zaman itu. Nugroho yang penurut tapi jahil karena mengatai Dini akan menjadi montet kalau terus-menerus di atas pohon. Ada Maryam yang penyayang tapi sedikir jahil seperti Teguh. Cara Dini bercerita tentang Teguh yang jahil khas anak-anak yang masih polos pun sangat menarik.

“Teguh lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong menghitung kue kering tersebut, memasukkannya ke lodong atau kaleng. Kalau ibu atau Heratih tidak melihat, dari lima buah kue yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung sambil bersuara keras. Sisanya segera menghilang ke dalam saku celana pendeknya.” Tulis Dini tentang Teguh.*

 

Editor: Dimas Adi Putra

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life