Home » Soal Proporsional Tertutup, Erwin Aksa: Hak Rakyat Tak Bisa Diganggu Gugat!

Soal Proporsional Tertutup, Erwin Aksa: Hak Rakyat Tak Bisa Diganggu Gugat!

by Addinda Zen
3 minutes read
pemilu

ESENSI.TV - JAKARTA

Wakil Ketua Umum Bidang Penggalangan Strategis Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Erwin Aksa mengatakan di Indonesia terdapat dua sistem pemilu, yakni proporsional terbuka dan tertutup. Proporsional tertutup pernah dijalankan di Indonesia, tetapi sistem tersebut dirasa kurang mewakili pilihan rakyat.

“Sehingga kemudian diusulkan untuk terbuka,” kata Erwin, di Jakarta, Senin (9/1/2022).

Erwin mengatakan saat pemilu Indonesia masih menganut sistem proporsional tertutup, calon legislatif banyak yang menuntut elit partai politik (parpol) agar menempatkannya di urutan teratas dalam surat suara. Namun, sejak diberlakukan sistem proporsional terbuka, nomor urut dianggap menjadi tidak penting lagi.

“Sehingga dibukalah proporsional terbuka, sehingga tidak penting lagi nomor urut. Tapi yang dilihat adalah kinerja dari wakil rakyat. Sehingga mereka dipilih langsung oleh rakyat,” kata Erwin.

Politisi kelahiran Makassar, 7 Desember 1975 itu menuturkan sistem proporsional terbuka merupakan bagian dari demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia. Rakyat, kata Erwin, secara langsung dapat memilih wakil rakyatnya yang mereka percaya.

“Sehingga wakil rakyat yang duduk di DPR maupun DPRD, mereka adalah wakil-wakil rakyat yang berkualitas,” kata dia.

Erwin berharap dengan sistem proporsional terbuka menjadi landasan demokrasi yang semakin maju ke depan dan progresif. Kalaupun ada yang kurang, maka perlu dilakukan perbaikan. Ia berharap masyarakat juga dapat mengedepankan wakil-wakilnya yang duduk di DPR memiliki gagasan yang bisa membangun daerahnya, sumber daya alam, dan sumber daya manusia.

“Dan yang tidak kalah penting, membangun lapangan pekerjaan,” kata dia.

Erwin juga meminta Mahkamah Konstitusi (MK) dapat bermusyawarah dengan baik. Karena menurutnya rakyat memiliki hak untuk memilih wakil mereka yang tidak dapat diganggu gugat. “Saya kira dari data kami, kami melihat masyarakat ingin memilih wakil rakyat yang dekat dengan mereka, kemudian partai,” kata dia.

Sistem proporsional tertutup apabila tetap dijalankan, lanjut Erwin, dampaknya Indonesia tak lagi memiliki semangat demokrasi, karena mengalami sebuah kemunduran. Selain itu, ia khawatir sistem itu akan membuat tidak ada lagi kaderisasi dalam tubuh parpol. Menurutnya, meritokrasi sangat penting di dalam partai.

“Golkar memiliki tiga pilar, tiga filosofi yang kami bangun. Meritokrasi, artinya berjenjang. Pragmatis, Partai Golkar ingin merangkul semua pihak, dan honesty, yaitu kita mengedepankan prinsip transparansi,” tutur dia.

Sebagaimana diketahui, belakangan muncul wacana untuk mengembalikan sistem proporsional tertutup untuk pemilihan legislatif (pileg). Wacana tersebut muncul ketika ada beberapa pihak yang mengajukan judicial review atau uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah ke MK.

Baca Juga  PPLN Seoul Rekapitulasi Ulang Perolehan Suara

Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.

Bersamaan dengan itu, seharusnya ada otoritas kepartaian untuk menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai. Selain itu, menurut pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.

Melihat sisi lain, sudah delapan parpol menyatakan sikap untuk menolak pemilu dengan sistem proporsional tertutup. Kedelapan Parpol itu adalah Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat PKS, PAN, PPP, dan Gerindra.

“Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi,” kata Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Pendapat berbeda justru disampaikan oleh pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati yang menyatakan sistem proporsional tertutup memiliki lebih banyak kelebihan dan lebih cocok untuk diterapkan pada penyelenggaraan pemilu legislatif secara serentak. Meski sistem ini dianggap lebih sesuai, tetapi pelaksanaan pileg dengan sistem proporsional tertutup perlu diawali dengan pemilu pendahuluan atau proses kandidasi di internal partai politik yang memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.

“Banyak ahli sudah mewanti-wanti kalau sebuah negara menyelenggarakan pemilu serentak maka pilihlah sistem yang paling sederhana, dan sistem tertutup ini adalah sistem yang sederhana dari sisi pemilih,” katanya.

Kelebihan lainnya, sistem ini secara teknis lebih meringankan panitia pelaksana pemilu karena proses rekapitulasi atau penghitungan suara lebih mudah. Hal ini dirasa perlu menjadi salah satu pertimbangan mengingat pada pemilu sebelumnya ditemukan sejumlah penyelenggara yang sampai meninggal dunia karena kelelahan.

Analis Politik Exposit Strategi, Arif Susanto mengatakan sistem proporsional tertutup juga memiliki keunggulan, yaitu dalam menjaga kohesivitas parpol. Dengan asumsi bahwa daftar calon legislatif disusun oleh elit partai, maka kemungkinan besar calon akan satu suara dengan partai.

Namun, kekurangan dari sistem ini, yaitu adanya kecondongan bagi calon untuk lebih akomodatif dengan kehendak elit partai. Padahal, aspirasi pemilih penting untuk didengar dan diakomodasikan.

 

 

Editor: Dimas Adi Putra

 

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life