Home » Hi WTO! “Indonesia Good Boy” Sudah Ketinggalan Zaman

Hi WTO! “Indonesia Good Boy” Sudah Ketinggalan Zaman

Sambil Ajukan Banding Gugatan Bijih Nikel, Pemerintah Akan Tutup Ekspor Bijih Bauksit

by Erna Sari Ulina Girsang
5 minutes read
nikel 1

ESENSI.TV - JAKARTA

Bagi generasi Pre Boomer, Baby Boomers, bahkan Generasi X yang lahir di bawah tahun 1980, kemungkinan besar pernah mendengar pernyataan Indonesia adalah good boy bagi negara maju.

Alasannya, selama puluhan tahun, Pemerintah selalu bersikap manis dan tidak berani melawan kepentingan negara kaya. Umumnya, negara-negara itu nebeng kepentingan mereka melalui IMF dari sisi stabilitas moneter dan perbankan, Bank Dunia untuk dana pembangunan, serta World Trade Organization (WTO) untuk persoalan perdagangan.

Namun, bagi generasi X, Y dan Z sebagai generasi termuda yang lahir belakangan, mungkin langka mendengar kalimat good boy ini. Soalnya, Indonesia sudah terlepas dari jerat IMF sejak tahun 2006, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melunasi utang negara senilai USD9,1 miliar atau sekitar Rp117 triliun, lebih cepat 4 tahun dari masa jatuh tempo.

Untuk World Bank, memang belum bisa lepas seperti IMF. Namun, dalam belasan tahun terakhir, Pemerintah sudah mulai mengurangi penarikan utang dari lembaga kreditur multilateral itu dengan mencari pinjaman dari pasar uang melalui penerbitan obligasi negara. Bunganya memang relatif lebih tinggi, tetapi tidak ada pesan-pesan titipan dari negara maju yang dibonceng oleh World Bank.

Nah, yang saat ini menjadi masalah adalah WTO. Kasus terbaru adalah pada tanggal 17 Oktober 2022 melalui Badan Penyelesaian Sengketanya alias Dispute Settlement Body (DSB)-nya, WTO memutuskan Indonesia terbukti telah melanggar Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Pasal XI tentang Pembatasan Ekspor dan Impor. WTO tidak dapat menerima keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional menjadi alasan Indonesia menutup keran ekspor.

Artinya, WTO memenangkan alias berada di pihak Uni Eropa atas kebijakan Pemerintah Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020. M. Lutfi, Menteri Perdagangan RI saat keputusan itu diterbitkan, sebelum digantikan oleh politisi dari Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, mengatakan sebenarnya Uni Eropa hanya mengekspor 2 persen nikel Indonesia.

Industri Baja Eropa

Larangan bijih nikel dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan industri baja nirkarat atau baja tahan karat alias stainless steel di benua biru itu. Saat ini, sekitar 70 persen nikel diproduksi untuk stainless stell, sisanya untuk baterai dan kebutuhan peleburan atau pelapisan logam dan mesin lainnya. Nikel banyak dicari karena bersifat magnetis pada suhu kamar dan sepenuhnya dapat didaur ulang.

Mineral bernilai tinggi ini ternyata banyak dikandung di bumi Indonesia. Berdasarkan data Badan Geologi per tahun 2020, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar duna, sehingga posisi Indonesia sangat penting dalam penyediaan bahan baku nikel dunia. Total cadangan nikel dunia mencapai 139,419 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 52 persen atau 72 juta ton berada di Indonesia.

cadangan nikel dunia

Grafis: Cadangan nikel dunia. Sumber: Badan Geologi, Kemen ESDM

Sedangkan, cadangan terbanyak kedua atau 15 persen tersimpan di Australia, sebanyak 8 persen di Brasil, sebanyak 5 persen di Rusia. Sisanya 20 persen tersebar di Kuba, Filipina, China, Kanada dan sejumlah negara lain. Dari total cadangan nikel di Indonesia, sekitar 90 persen terdapat di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku.

Selama ini, bijih nikel asal Indonesia diekspor dalam bentuk mentah. Padahal, jika diolah, Indonesia akan mendapatkan nilai tambah besar. Inilah yang mendasari penerbitan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara yang merupakan revisi dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Kemudian, lebih teknis lagi di atur dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kebijakan Presiden SBY

Jika ditarik mundur, sebenarnya, di awal Januari 2014, di masa Pemerintahannya, Presiden SBY pernah menghentikan ekspor bijih nikel dan bauksit, lima tahun setelah UU Nomor 4 Tahun 2019 dirilis. Tujuannya untuk merealisasikan hilirisasi mineral, sesuai dengan amanat Pancalisa dan Undang Undang Dasar 1945, yaitu mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat.

Namun, kebijakan ini menulai penolakan dari perusahaan tambang, terutama PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Meskipun sudah diberikan waktu selama 5 tahun untuk membangun smelter, ternyata kedua perusahaan itu mengaku belum siap, bahkan sempat merumahkan karyawan akibat kebijakan itu.

Baca Juga  Tahukah Kamu Penyakit Lupus dan Bahayanya?

Akibatnya, tidak berapa lama, Pemerintah akhirnya mundur dan kembali membuka keran ekspor bijih nikel berkadar rendah dan bauksit dengan alasan nikel maupun bauksit masih sulit dimurnikan di dalam negeri.

Mewujudkan Kedaulatan Rakyat

Presiden Jokowi tampaknya melanjutkan langkah Pemerintahan sebelumnya untuk mewujudkan kedaulatan sumber daya alam dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, terutama untuk membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya dan meningkatkan penerimaan devisa serta pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.

“Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan industri pengolahan sumber daya alam di dalam negeri. Ekspor bahan mentah akan terus dikurangi, hilirisasi industri berbasis sumber daya alam di dalam negeri akan terus ditingkatkan,” jelas Jokowi, dalam konferensi pers soal kebijakan ekspor minerba di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/12/2022).

Lalu bagaimana dengan keputusan WTO? Keputusan WTO ternyata tidak membuat Pemerintah Indonesia gentar. Pemerintah telah mengajukan banding kepada Badan Banding (The Appellate Body) WTO pada tanggal 12 Desember 2022 atas keputusan sebelumnya.

Pengajuan banding ini diharapkan menghasilkan keputusan yang menguntungkan Indonesia. Soalnya, meski melarang ekspor, Indonesia sangat terbuka terhadap investasi industri yang menggunakan bahan baku bijih nikel. Kebijakan ini diharapkan justeru dapat mendorong mobilisasi investasi besar-besaran dari Uni Eropa ke Indonesia.

Sambil menanti hasil banding yang bisa saja memakan waktu panjang, Pemerintah tetap melanjutkan kebijakan melarang ekspor bijih nikel dan mendorong perusahaan tambang untuk segera membangun smelter.

Hasilnya, nilai ekspor meningkat tajam atau 19 kali lipat. Dari hanya Rp17 triliun atau USD1,1 miliar tahun 2014 menjadi Rp326 triliun atau USD20,9 miliar tahun 2021. Pemerintah memperkirakan tahun 2022, nilai ekspor nikel melebih Rp468 triliun atau lebih dari USD30 miliar.

Tidak berhenti di nikel, mulai Juni 2023, Pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit. Tujuannya sama, yakni mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri. Pemerintah menargetkan industrialisasi bauksit di dalam negeri akan meningkatkan pendapatan negara dari Rp21 triliun menjadi sekitar Rp62 triliun.

Industri Bauksit

Bagaimana dengan kesiapan pelaku bisnis tambang di Indonesia? Dalam acara yang sama dengan Presiden di Istana Negara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan industri di Tanah Air sudah siap mengolah bijih bauksit di dalam negeri.

cadangan bauksit

Grafis: Cadangan bauksit dunia. Sumber: Badan Geologi, Kemen ESDM

Saat ini, sudah ada empat fasilitas pemurnian bauksit eksisting dengan kapasitas alumina sebesar 4,3 juta ton. Selain itu, fasilitas pemurnian bauksit dalam tahap pembangunan memiliki kapasitas input 27,41 juta ton dengan kapasitas produksi 4,98 juta ton atau mendekati 5 juta ton.

Dukungan juga datang dari ekonom yang mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi untuk melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Madam Fahmy Radhi mengatakan tujuan Pemerintah melarang ekspor bahan baku mineral adalah untuk meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Presiden Joko Widodo (Jokowi) rupanya pantang mundur, malah melanjutkan larangan ekspor pada bijih bauksit, setelah bijih nikel di gugat di WTO. Maka perlu maju tak gentar meningkatkan pendapatan negara,” jelas Fahmy Radhi, Sabtu (24/12/2022).

Dia mengatakan dalam jangka pendek pendek, larangan ekspor bauksit itu akan menurunkan pendapatan ekspor hingga mencapai sebesar Rp21 triliun per tahun. Namun, untuk jangka panjang, ekspor hasil hilirisasi dan produk turunan bauiksit, akan meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp62 triliun per tahun dari nilai tambah dari kegiatan ekonomi dari hulu ke hilir.

Tidak mudah untuk memperoleh tambahan pendapatan sebesar itu melalui larangan ekspor bauksit karena Pemeritah masih akan menghadapi berbagai tantangan dan penolakan. Di dalam negeri akan ditemui sejumlah kendala, seperti kapasitas smelter hingga modal perusahaan tambang.

Dari luar negeri, gugatan ke WTO tentu tidak bisa diremehkan karena perlawanan yang datang menyusul bisa dalam bentuk apa saja, misalnya menolak impor produk Indonesia ke kawasan itu.

Namun, dengan strategi bisnis dan komitmen yang kuat, tantangan ini tentu akan dapat dilakui. Tidak zamannya lagi Indonesia menjadi good boy bagi negara maju. Malu sama generasi penerus Indonesia.*

Email Editor: ernasariulinagirsang@esensi.tv
Editor: Erna Sari Ulina Girsang

#beritaviral
#beritaterkini

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life