Home » Rawa dan Sungai di Sumsel Mulai Mengering

Rawa dan Sungai di Sumsel Mulai Mengering

by Lyta Permatasari
4 minutes read
Kemarau yang disertai El-Nino membuat ribuan hektare rawa gambut atau lebak di Sumatera Selatan mengering. Seperti lebak di Desa Burai, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsell ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

ESENSI.TV - Sumatera Selatan

Masyarakat yang tinggal di lahan basah, khususnya rawa gambut, di Sumsel tidak hanya mencari ikan tetapi juga beternak kerbau rawa dan sawah. Namun selama 15 tahun terakhir, setiap musim kemarau mereka harus menghadapi kekeringan. Apa dampaknya?

Pada bulan Agustus 2023, Mongabay Indonesia mengunjungi beberapa desa yang berada di kawasan lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Kabupaten Ogan Ilir (OI), Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Muaraenim.

Kekeringan berkepanjangan disertai El Nino sejak Mei 2023 telah menyebabkan kekeringan di puluhan ribu hektar rawa yang oleh penduduk setempat disebut “lebak” di 4 kabupaten. Lebak merupakan daerah lahan basah. Air dari hujan atau air sungai yang meluap. Lebak biasanya terletak di sekitar sungai. Lebak ini sebagian menjadi lahan gambut yang kemudian ditumbuhi pepohonan.

Kekeringan rawa yang parah selama musim kemarau disebabkan oleh terus menyusutnya lahan basah di Sumatera Selatan. Dari sekitar tiga juta hektar lahan basah, hampir setengahnya telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, HTI (penghijauan industri) dan infrastruktur.

“Lembah di sini gersang. Hanya sebagian kecil Lebak yang terdapat kubangan kerbau berisi air. Air sungai juga berkurang,” kata Husin, warga Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI.

Sejak akhir Juli hingga pertengahan Agustus 2023, masyarakat menggunakan pompa air untuk mengairi sawah mereka, kata Husin. Mereka menyedot air dari sungai yang mengalir melalui pipa-pipa yang panjangnya beberapa puluh hingga puluhan meter.

Husin menjelaskan: “Satu hektar sawah memerlukan biaya sekitar Rp 450.000 untuk membeli minyak [bahan bakar] untuk pompa air.

“Kalau sebelum September dan Oktober tidak turun hujan, sawah kami pasti kering. Panen yang buruk. Bukan karena mereka tidak mampu memompa oli mesin, tapi air sungai sudah mengering. Kering. Tidak ada air untuk dihisap.

Supriyadi, warga Desa Tapos, salah satu anggota kelompok tani yang membuka sawah di Desa Pulau Layang, mengatakan “Kelompok kami mengeluarkan dana sebesar Rp 12 juta untuk membeli pompa oli mesin untuk mengairi sawah seluas 50 hektar.

Desa Tapos dan Desa Pulau Layang merupakan desa yang bertetangga dengan Desa Bangsal yang juga merupakan bagian dari Kecamatan Pampangan.

“Kami berharap panen tidak gagal, padahal menguras sungai itu mahal. Kami berharap mendapatkan laba atas investasi yang cukup dari panen. Jangan sampai hilang,” kata Supriyadi.

“Saya berharap akhir September atau awal Oktober sudah bisa panen,” lanjutnya. Sementara itu, masyarakat Kecamatan Sirah Pulau Padang selain menyedot air sungai juga menutup saluran menuju persawahan mereka.

“Saluran (kanal) terpaksa kami tutup agar air dari kanal tidak mengalir ke sungai, sehingga sawah kami masih basah. Kalau hujan pintu air dibuka agar air sungai bisa masuk lalu ditutup,” kata Arifin, warga Desa Serdang Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI.

Pakan Kerbau

“Di sini pakan kerbau terus menurun. Kalau sebulan tidak turun hujan, rumput mati, tidak tumbuh apa-apa. Kerbau harus mati kelaparan dan kami harus memberi mereka makan dengan sedikit jerami,” kata Maika, warga Desa Bangsal.

Pakan kerbau di Desa Bangsal berupa rumput kumpai (Hymenachine Plentyxicaulis) dan kacang-kacangan. Misalnya, kumpai minyak, kumpai tembaga, dan kumpai beras.

“Sudah sebulan hujan turun di desa ini. Hujan satu jam saja sudah cukup untuk menumbuhkan rumput di lembah kami, Maika menjelaskan.

Saat ini terdapat sekitar 400 ekor kerbau rawa di Desa Bangsal. Tercatat ada tiga kelompok penggembala kerbau rawa; Gembala, harapan kesejahteraan dan kerja sama.

Selain di Desa Kelurahan, kerbau rawa juga dipelihara oleh sejumlah warga Desa Hidrologi Gambut Sungai Batok Sibumbung-Sungai (KHG), yakni Desa Kuro dan Desa Menggeris. Menurut data BPS [Badan Pusat Statistik] tahun 2022, jumlah kerbau rawa di Sumsel sekitar 27.665 ekor. Sedangkan di Kabupaten OKI jumlahnya sekitar 7.572.

Baca Juga  Bali Siaga Darurat Kekeringan, Komisi VI Siapkan Dana Penanganan

“Namun berdasarkan survei kami di beberapa areal peternakan di Kecamatan Pampangan, perkiraan saya sebenarnya jumlahnya hanya 20 ekor,” kata Arfan Abrar, peneliti kerbau rawa dari Universitas Sriwijaya, hingga 30% laporan. ”.

Kerbau tidak untuk dijual. “Kerbau hanya digunakan untuk membuat susu untuk dijadikan gula. Kalaupun dijual, biasanya kondisi kesehatan kerbau kurang stabil,” kata Maika.

Gula puan merupakan makanan yang terbuat dari susu kerbau yang dicampur dengan gula pasir dan daun pandan. Cara memasaknya, campurkan susu, gula dan daun pandan. Tuang ke dalam loyang yang sudah dipanaskan sebelumnya. Lalu aduk rata dan merata, selama 3-4 jam. Seperti memasak dodol.

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, di sebagian besar pemukiman di sekitar rawa Kabupaten OKI, OI dan Banyuasin banyak ditemukan kerbau rawa.

“Dulu daerah kami juga banyak dihuni kerbau rawa. Namun jumlahnya terus menurun. Masih tersisa puluhan ekor kerbau. Di sini, kerbau dipelihara hanya untuk diambil susunya dan sebagai tenaga penggerak. Tapi sekarang gerobak kerbau sudah tidak ada lagi,” kata Sopian, warga Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir.

Arfan menjelaskan: “Kerbau rawa diternakkan oleh masyarakat Sumatera Selatan dari Kerajaan Palembang. Selain menggunakan tenaga untuk mengangkut barang, susu Puan juga merupakan makanan yang mahal, hanya dapat dimakan oleh kaum bangsawan atau orang kaya. Sebelum gula pasir, pemanis yang digunakan adalah jaggery.

Jadi, saat itu hampir seluruh penduduk yang tinggal di sekitar rawa gambut beternak kerbau, yang kemudian menjadi kerbau rawa.

“Selain itu, kotoran kerbau juga meningkatkan kualitas air gambut yang cenderung asam. Kotoran kerbau rawa basah. Sebaliknya, kotoran kerbau ini membentuk rawa-rawa yang kaya akan makanan ikan. Ia menjelaskan pada pertengahan Agustus 2023, rawa-rawa menjadi habitat berbagai jenis ikan.

Krisis Pangan

Pada musim kemarau, saat air di laguna, kanal, dan sungai surut, juga merupakan waktu panen ikan bagi masyarakat. Memang banyak jenis ikan yang berkumpul di kubangan sisa.

Masyarakat menangkap ikan yang disebut melebung dengan berbagai cara, mulai dari tangan, jaring, jaring, pancing, terompet, hingga pesap.

“Dulu tidak semua ikan bisa ditangkap. Ikan yang ditangkap berukuran sedang hingga besar. Anakan dibiarkan terlantar karena pada musim hujan benih akan tumbuh besar. Tapi sekarang ikannya ditangkap semua, termasuk yang kecil-kecil,” kata Sopian.

Ironisnya, menurunnya jumlah ikan ini membuat masyarakat semakin ‘rakus’ dalam menangkap ikan. Misalnya saja menggunakan baterai untuk menyetrum dan menangkap ikan dengan berbagai ukuran, besar maupun kecil. Mungkin mereka melakukannya karena alasan ekonomi atau untuk mencari nafkah,” kata Sopian.

Jika kekeringan tahun ini berlangsung hingga akhir tahun 2023, diperkirakan masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut akan mengalami krisis perikanan. “Tanpa air tidak ada ikan,” jelas Husin.

“Selain beras, ikan merupakan sumber pangan utama di desa kami. Dengan kata lain, kita makan nasi dan ikan setiap hari. Ikan mengelola berbagai masakan. Jadi yang mengkhawatirkan kita dampak kekeringan tahun ini bukan hanya kebakaran lahan tapi juga krisis pangan,” lanjutnya.

Husin juga berharap dampak masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut saat musim kemarau menjadi pembelajaran bagi pemerintah dalam menjaga lahan gambut yang tersisa.

“Misalnya dilarang membuat kebun dan menimbun endapan gambut. Jika lahan gambut terus dieksploitasi, pasti banyak masyarakat yang kelaparan di musim kemarau,” ujarnya.

 

 

Editor: Farahdama A.P/Addinda ZEn

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life