Home » Problem Posing Politic: Melampaui Politik Pasar, Meletakkan Basis Bagi Komunikasi Politik

Problem Posing Politic: Melampaui Politik Pasar, Meletakkan Basis Bagi Komunikasi Politik

Sebuah Tawaran Transformatif bagi Partai Politik dalam Menyongsong Pemilihan Umum 2024

by Administrator Esensi
2 minutes read
Kontestasi Elektoral

ESENSI.TV - PERSPEKTIF

Ilmuwan politik, G. Bingham Powell Jr. dan Robert Dahl sekurang–kurangnya sepakat bahwa kontestasi elektoral yang adil dan jujur adalah salah satu kriteria fundamen untuk menjustifikasi eksistensi demokrasi dalam suatu pemerintahan negara. Kontestasi elektoral atau pemilihan umum menjadi suatu keharusan, karena klaim sebagai negara demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada level normatif, tetapi mesti sampai pada tataran empirik. Demokrasi bukan hanya proposisi atau pernyataan politis, tapi juga adalah praksis politik. Klaim kemutlakan kontestasi elektoral dari Powell dan Dahl, hemat saya, diasalkan dari identitas demokrasi sebagai sistem politik yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, yang dari padanya kekuasaan dimandatkan. Karena itu, rakyat mesti memiliki ruang partipasi guna menentukan orang–orang yang akan mewakilinya di kursi kekuasaan. Kontestasi elektoral adalah representasi sekaligus aktualisasi dari konsep partisipasi tersebut. Pemilihan umum menunjukkan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan dipercayakan demi kepentingan rakyat. Kemudian, kepada rakyatlah para politisi harus mempertanggungjawabkan tindakan–tindakan mereka.

Dalam demokrasi, monopoli kekuasaan yang mengarah pada diktatorisme mesti dicegah lewat suatu proses kontestasi atau pemilihan umum yang teratur dan damai untuk memberi peluang bagi terlaksananya rotasi kekuasaan. Kontestasi elektoral atau pemilihan umum adalah instrumen teknis–prosedural untuk menjaring figur–figur yang akan mengisi formasi jabatan publik pemerintahan, khususnya di bidang eksekutif dan legislatif. Baik pada tingkat regional atau daerah, maupun pada skala nasional. Dalam konteks ini, pemilihan umum memegang peranan yang strategis karena kualitas penyelenggaraan negara akan ditentukan oleh output yang dicetak dalam proses kontestasi ini. Karena itu, sebuah pemilihan umum mesti dijalankan secara profesional untuk menghasilkan pemimpin–pemimpin yang berkualitas. Pemilihan umum tidak hanya dimaknai sebagai ritual wajib lima tahunan, tapi lebih dari itu. Ia mesti dimaknai sebagai kerja membangun demokrasi dan kehidupan kolektif warga negara. Maka, pemilihan umum mesti didorong untuk beranjak dari tataran prosedural dan memasuki ranah substantif.

Peran Urgen dan Signifikan Partai Politik

Dalam upaya mewujudkan demokrasi substantif, partai politik (parpol) memiliki peran yang urgen dan signifikan. Secara umum, partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota–anggotanya mempunyai orientasi, nilai – nilai, dan cita – cita yang sama. Dalam kontestasi elektoral, partai politik membantu menyederhanakan dan memfokuskan pilihan rakyat atau pemilih terhadap kedudukan politik dan program–program kebijakan yang pantas dipilih. Di sini tampak jelas, bahwa orientasi dari keterlibatan partai politik dalam kontestasi elektoral adalah merebut kekuasaan politik sebagai sarana untuk mengartikulasikan program dan kebijakan konstruktif partai guna membangun kehidupan kolektif warga negara. Karena itu, selama masa kontestasi, partai politik sudah harus memiliki blue print terkait langkah-langkah strategis untuk memajukan kehidupan bersama.

Perdebatan dan komunikasi politik yang dibangun oleh partai politik mesti membicarakan gagasan–gagasan tajam dan berisi untuk membereskan serangkaian persoalan di negeri ini. Namun, alih–alih memasuki ruang perdebatan gagasan, semakin mendekati 2024, politik malah terlihat seperti sinetron untuk ditonton, tetapi tak berisi. Pertemuan–pertemuan politik tak memperdebatkan isu yang dihadapi rakyat. Kalaupun ada pidato yang membicarakan isu–isu tertentu, seperti pembangunan infrastruktur, isinya juga tak lebih dari sanjungan pada sosok, bukan soal substansinya. Partai politik lebih sibuk mendandan kandidat-kandidat yang diusungnya untuk mendongkrak elektabilitas, dengan ukuran popularitas. Padahal, saat ini popularitas kerap didapat dari isu–isu populis. Maka, masyarakat disuguhi jargon dan baliho, bukan program kerja dan visi.

Dominasi Politik Pasar dan Kekacauan Komunikasi Politik

Lanskap perpolitikan Indonesia yang dideterminasi oleh muatan-muatan sensasi, ketimbang hal–hal yang substantif, sebenarnya adalah representasi dari menguatnya praktik politik pasar. Pada pengertian politik sebagai pasar, aktivitas politik dimaknai semata–mata ibarat aktivitas jual beli atau pertukaran politik, di mana proses kandidasi politik diukur dari seberapa besar kandidat mendapat dukungan massa (elektabilitas) dan dikenal publik (popularitas). Memang dinamika politik elektoral tak dapat meningggalkan sepenuhnya proses politik dalam pemaknaan politik sebagai pasar. Bagaimanapun, dalam pemilihan umum 2024, pemangku kekuasaan yang terpilih adalah hasil dari pilihan politik warga yang berdaulat, yang pada momen itu berperilaku sebagai konsumen. Karena itu, wajar apabila partai mempertimbangkan kalkulasi pasar dalam logika elektabilitas dan popularitas saat mengusung kandidat.

Persoalannya, dominasi politik pasar meniadakan pembicaraan dan diskursus berkualitas soal tantangan–tantangan yang akan dihadapi bangsa ke depan dan langkah-langkah strategis yang mesti diambil untuk menjawab serangkain tantangan tersebut. Pertemuan–pertemuan politik hanya membicarakan kepentingan–kepentingan pragmatis partai, bukan ide–ide transformatif untuk menghadirkan bonum commune dalam kehidupan publik.

Elektabilitas dan Popularitas Sebagai Parameter Penentuan Kandidat

Partai politik menjadikan elektabilitas dan popularitas sebagai parameter utama untuk penentuan kandidat, dan mengesampingkan kapasitas kandidat dalam menjawab berbagai permasalahan yang mendera bangsa ini. Hal–hal semacam ini terasa wajar, karena politik pasar memang hanya berorientasi pada upaya merebut kekuasaan. Kekuasaan dinobatkan sebagai tujuan tunggal dan final, padahal kekuasaan hanyalah sarana bagi partai politik untuk mengartikulasikan ideologi dan platform partainya lewat program–program dan kebijakan-kebijakan praktis dan konkret. Karena itu, partai politik seyogyanya tidak hanya mengutamakan peluang keterpilihan, melainkan kesinambungan kehidupan republik pasca momen elektoral.

Dominasi politik pasar dalam proses kontestasi elektoral berimbas juga pada kekacauan komunikasi politik. Secara teoritis, komunikasi politik dalam pelaksanaan pemilu merupakan sarana interaksi dua arah (dyadic) antara politisi atau partai politik dengan konstituten atau voters. Politisi atau partai politik berupaya menyampaikan pesan politik agar terpilih atau partai politik tersebut keluar sebagai pemenang atau peraih suara atau kursi terbanyak di legislatif. Di sisi lain, masyarakat atau voters juga dapat menyampaikan aspirasi yang pada akhirnya akan menjadi faktor penting, selain ideologi partai politik, untuk merumuskan program politik atau solusi yang ditawarkan oleh para politisi dan partai politik. Namun, dalam kenyataannya komunikasi politik yang dibangun oleh partai politik cenderung mengabaikan aspirasi rakyat.

Dalam kontestasi elektoral, pengabaian aspirasi rakyat bisa dibaca lewat ketidakmampuan dan ketidakmauan partai politik dalam membaca tuntutan dan kebutuhan publik.

Koalisi Sebagai Komunikasi di Tingkat Elit

Bukan hanya dalam komunikasi vertikal dengan masyarakat, komunikasi di tingkat elit juga sarat dengan kepentingan. Koalisi tidak lagi dibangun atas dasar keselarasan ideologi dan platform partai, tapi atas kalkulasi kepentingan. Politik menjelma jadi pasar yang penuh dengan intrik transaksional demi menggaet keuntungan elektoral. Apalagi dengan diberlakukannya mekanisme presidential threshold dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden, di mana hanya partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, siapa pun yang ingin maju harus mendapatkan “tiket” dari partai–partai yang ada. Hak memberi tiket semacam ini membuat partai–partai politik bekerja serupa mesin peraih kekuasaan belaka. Di titik ini, koalisi terbentuk karena alasan pragmatis hasil negoisasi dari calon yang ingin mendapatkan tiket.

Baca Juga  Indonesia Menempati Peringkat Bawah Di Bidang Inovasi

Komunikasi pada umumnya tidak pernah independen. Dia digerakkan dan diarahkan oleh maksud dan kepentingan tertertentu. Begitu juga dalam komunikasi politik yang dilakukan partai–partai politik. Komunikasi politik partai–partai di Indonesia umumnya dituntun oleh logika pasar dengan tujuan meraih kekuasaan semata. Metode komunikasi macam ini tentu saja membatalkan salah satu fungsi penting dari partai politik yaitu menggalakkan pendidikan politik bagi warga negara. Komunikasi politik bukannya mencerdaskan, malah menyesatkan publik.

Komunikasi Politik Masih Didominasi Agresivitas Verbal

Gun Gun Heryanto dalam bukunya Realitas Komunikasi Politik Indonesia Kontemporer mengatakan, komunikasi politik di Indonesia masih didominasi oleh pilihan agresivitas verbal yang mengarah ke emosi, dibanding pertarungan gagasan dan program yang membutuhkan argumentasi. Persoalan yang mengemuka dan ramai menjadi narasi kegaduhan tidaklah substansial melainkan baru sekedar memalingkan perhatian khalayak pada polemik dan kontroversi. Narasi kegaduhan tentu tidak selalu menguatkan kualitas demokrasi. Gelembung isu politiknya seringkali sekadar menjadi permainan panggung yang temporer. Padahal, kontestasi elektoral seharusnya bergerak ke arah yang lebih substansial yakni tawaran program dan gagasan. Namun, elit politik memilih untuk menjauh dari pertarungan gagasan dan program. Malah terjebak dalam politik pencitraan dengan intensi utamanya yakni mendongkrak elektabilitas dan popularitas kandidat.

Kontestasi elektoral absen dari pembicaraan tentang ide–ide konkret dan lebih sibuk memproduksi propaganda dan jargon politik. Sekalipun, berbicara tentang ide–ide populis seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, tidak ada partai yang berani mengakui terus terang bagaimana mereka akan membiayai pendidikan dan kesehatan gratis ini. Pembicaraan terjebak dalam kedangkalan.

Kampanye Predatoris

Hasrat yang menggebu–gebu akan kekuasaan, tak jarang menggerakkan partai politik untuk menghalalkan segala cara dalam memenangi kontestasi. Kontestasi elektoral dimaknai sebatas urusan menang–kalah, bukan benar–salah. Akibatnya, etika politik dipinggirkan. Pemaknaan kontestasi semacam ini identik dengan logika pasar yang hanya memikirkan profit, sekalipun diperoleh dengan cara yang licik. Dalam konteks komunikasi politik, logika pasar yang berorientasi pada keuntungan semata termanifestasi dalam metode kampanye predatoris.

Kampanye predatoris adalah kampanye yang “memangsa” orang lain secara semena–mena, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara, dan yakin dengan doktrin siapa yang kuat dialah yang menang tanpa terlalu mengindahkan aturan dan keadaban. Ada empat modus utama kampanye predatoris yang sering ditemukan di lapangan. Pertama, kampanye yang mengeksploitasi isu berdaya ledak tinggi seperti isu suku, agama, ras dan antargolongan. Kedua, kampanye dengan cara melakukan pembunuhan karakter lawan lewat fitnah, hoaks, rumor, dan gosip yang tanpa bukti. Ketiga, intimidasi politik kartel. Keempat, kampanye yang disponsori penunggang bebas kekuasaan, seperti pengusaha. Kampanye predatoris ini tentu saja mencelakakan publik. Salah satu contohnya adalah polarisasi di akar rumput pada waktu pemilihan presiden 2019 lalu.

Problem Posing Politic: Melampaui Politik Pasar, Meletakkan Basis Bagi Komunikasi Politik

Problem posing politic atau politik hadap masalah adalah konsep sekaligus praksis politik yang berpijak dan berkiblat pada realitas. Pembicaraan dan aktivitas politik relevan dan kontekstual dengan situasi konkret masyarakat. Politik bukan hanya berbicara kepentingan para elit, tetapi yang paling utama adalah kemashalatan bersama warga negara. Di sini, problem posing politic hadir sebagai konsep dan praksis politik yang melampaui politik pasar. Politik pasar lebih didominasi oleh muatan–muatan sensasi yang diarahkan untuk kepentingan elit politik semata, tapi dalam problem posing politic. Kehidupan kolektif mendapat perhatian utama. Problem posing politic tidak hanya memikirkan cara untuk duduk di bangku kekuasaan, tapi jauh lebih penting dari itu, yakni keberlanjutan hidup bangsa dan negara serta membangun peradaban. Kontestasi elektoral diarahkan untuk menemukan figur dan merumuskan gagasan yang tepat guna menyelesaikan persoalan–persoalan nyata dalam kehidupan bersama.

Model Politik Berpijak Pada Realitas

Dalam menyongsong kontestasi elektoral 2024, hemat saya, partai politik mesti memproposalkan model problem posing politic. Model politik yang berpijak dan berkiblat pada realitas ini mendorong partai politik untuk “bermata lebar dan bertelinga panjang” guna melihat ragam persoalan dan tantangan dalam kehidupan publik sekaligus mendengar keluhan-keluhan yang terucap dari mulut rakyat. Hasil pembacaan dan penginderaan terhadap realitas ini, kemudian menjadi bahan diskursus internal partai politik maupun koalisi. Jadi, diskursus internal partai politik maupun dalam koalisi berpusat pada masalah dan tantangan nyata yang dialami bersama.

Diskursus tidak berada di dunia yang lain sama sekali dengan kehidupan publik. Dalam diskursus ini, partai politik dipanggil untuk menelaah secara mendalam dan komprehensif pelbagai persoalan dan tantangan yang ada. Di sini, gagasan diundang untuk diperdebatkan guna menemukan formula yang tepat dalam membereskan ragam persoalan dan tantangan tersebut. Result dari diskursus inilah yang kemudian dikomunikasikan kepada publik, yang menjadi pesan dalam komunikasi politik dari setiap partai. Dalam koridor ini, problem posing politic menjadi basis bagi komunikasi politik partai.

Komunikasi Politik yang Menghadirkan Gagasan Cemerlang

Partai politik menghadirkan dirinya kepada publik lewat program dan kebijakan yang berkualitas sebagai hasil dari diskursus atas persoalan dan tantangan nyata dalam kehidupan kolektif warga negara. Komunikasi politik menghadirkan kepada publik gagasan–gagasan cemerlang dan transformatif serta program dan kebijakan yang rasional dan tepat sasar. Bukan jargon dan janji-janji bombastis yang seringkali sulit terealisasi. Komunikasi yang berbasis kerja nyata mengurai masalah di masyarakat, jika dikelola dengan baik akan menguatkan pelibatan publik,    internal maupun eksternal terhadap partai politik.

Di samping itu, model problem posing politic ini juga bisa menjadi basis pertimbangan bagi partai politik atau koalisi. Pertimbangan dalam menentukan kandidat–kandidat yang akan diusung dalam kontestasi elektoral. Kandidat–kandidat tidak hanya ditentukan berdasarkan elektabilitas dan popularitas yang semu dan rekayatif, tetapi yang paling utama adalah kapasitas dan kualitas kandidat dalam memimpin. Penting juga kemampuannya dalam menerjemahkan dan mengerjakan program serta kebijakan yang disusun oleh partai untuk menjawab masalah dan tantangan nyata  dalam kehidupan bangsa dan negara. Dengan model politik seperti ini, kita telah mendorong demokrasi kita dari tataran prosedural ke ranah substantif.

 

Editor: Addinda Zen

You may also like

Copyright © 2022 Esensi News. All Rights Reserved

The Essence of Life